RSS

Sistem kadang berjalan apa adanya, kita tak pernah terpikir untuk mengubahnya. Sistem adalah sesuatu yang membantu, pembantu yang berkuasa. Dunia adalah sistem itu. Sejenak berpikir kritis, dunia yang kelam perlahan beranjak estetis.

Dream In The Dream (When I Get The Wet)

Catatan perjalanan mimpi selama sepekan
  • Senin
Capek, mengantuk, dan malas. Hal itu yang ku rasakan hampir setiap malam. Entah karena banyaknya kegiatan atau memang itu sifatku, aku tak tahu. Aku memang siswa yang tak begitu pintar, tak begitu menonjol prestasinya, tapi aku yakin esok hari adalah saksi di mana aku berhasil mengalahkan dunia. Ku tutup buku pelajaran untuk malam ini. Ku rebahkan diriku yang telah payah ini ke atas ranjang empuk yang telah siap menangkapku. Sebelum itu, tak lupa aku matikan sang penerang malam di kamarku itu. Mata yang telah menemaniku hari ini coba untuk terpejam. Angan ini melayang coba ‘tuk menembus atap hingga mencapai ke langit ke tujuh. Tak berapa lama setelah punggungku menyentuh sprei lembut penutup kasur di kamarku ini, ku rasakan aku telah berada di sebuah tempat yang terang dan luas. Aku tak tahu itu mimpi atau bukan. Sejenak ku coba mengerti tempat asing ini. Nan jauh di sana ku lihat dua perempuan cantik bak bidadari sedang bercanda. Mereka bercanda dan tertawa ditemani sang angin yang sejak tadi telah membelai mesra tubuh mereka berdua. Ku terpana dalam kebingungan yang mulai merasuki pikiranku ini. Sejenak ku tutup mata untuk merenung. Saat ku buka mataku kembali, tempat tadi telah berganti dengan tempat yang telah aku kenal. Ya, kamarku. Aku kembali ke kamarku lagi. Namun ada sesuatu yang basah ku rasakan di celanaku. Ku coba untuk meraba, basah. Benakku berpikir, basah karena apa? Basah di bagian luar celana, tak seperti biasanya. Tak sengaja ku lihat ke atas. Tampak di atap sebuah lubang telah menganga. Mungkin basah itu dikarenakan air yang masuk sewaktu hujan tadi malam dan tepat mengenai celanaku. Ku coba bangun dari tempat tidur. Tapi karena peganganku tak tepat, maka jatuhlah aku ke lantai. Ada yang aneh, aku tak jatuh ke lantai. Sekarang aku berada di atas tanah. Ini halaman rumahku. Masihkah aku bermimpi? Lagi, basah tubuhku. Kini giliran bajuku yang basah. Sejenak ku mencari sumber basah itu. Ternyata aku terjatuh di genangan air yang timbul karena hujan tadi malam. Basah dan dingin, hanya itu yang ku rasakan. Ku coba untuk berdiri. Saat ku coba untuk melangkah, kakiku terpeleset karena genangan air tadi. Yah, jatuh lagi diriku ini. Suara berdebum mengagetkanku. Ini kamarku. Sinar mentari pagi telah menembus celah-celah jendela kamarku. Hangat, sehangat celanaku dan tubuhku. Tak ku hiraukan rasa itu. Aku segera berlari ke kamar mandi untuk membasuh tubuhku ini. Tak ku pikirkan juga apakah ini mimpi atau bukan.
  • Selasa
Belajar telah selesai untuk malam ini. Ulangan telah menunggu untuk esok hari. Ku yakin saat kita berjuang untuk mencapai tujuan, pasti banyak halangan. Tapi jika kita percaya dan kuat, tujuan itu pasti akan kita dapat. Mataku sudah tak kuat untuk bertahan lebih lama. Akhirnya ku putuskan saja untuk tidur. Ku berdoa semoga aku tak mendapat mimpi seperti kemarin lagi. Tapi sepertinya hal kemarin terulang kembali. Tempatku sekarang ini lebih asing dari kemarin. Kini ku sedang menginjak awan. Sempat ku bergidik ngeri melihat ke bawah. Tampak di bawah warna hijau dan biru mendominasi bumi. Kini ku di atas awan, di atas bumi. Langkah pertamaku baik-baik saja. Namun saat ku melangkah lagi, kakiku terperosok, masuk menembus awan. Ku coba untuk menarik kakiku, namun malah tubuhku yang jatuh ke bawah melayang menuju bumi. Byuur, ternyata aku jatuh di kolam depan rumahku. Basahlah semua tubuhku. Inginku untuk segera mengganti baju yang basah ini, namun keinginanku tak terpenuhi. Saat ku buka mata setelah ku hapus air yang ada di sekitar mataku, tempat telah berubah. Ini kamarku. Ku berbaring di atas tempat tidur dengan celana telah basah. Ku raba, ku cermati. Basah itu seperti kemarin. Ya, memang dari atap lagi. Ayah ternyata belum memperbaiki atap itu. Hujan tadi malam membuatku basah lagi. Haus dahaga memaksaku untuk meneguk segelas air yang telah aku siapkan sebelum tidur tadi. Aku letakkan gelas berisi air itu di meja samping tempat tidurku. Ku ambil dan ku habiskan. Saat tegukan terakhir, air itu tumpah mengenai celana dan sebagian bajuku. Aku berpikir, masihkah ini mimpi?
  • Rabu
Rabu. Hari capek. Tadi di sekolah ada pelajaran olahraga. Olahraga membuat badanku capek pada malam harinya. Aku putuskan untuk tidur lebih awal setelah ku selesaikan tugas yang tersisa. Sang penerang telah padam, selimut telah ku naikkan. Ragaku coba untuk melepas jiwa untuk sejenak. Jiwa yang mulai pergi ini coba untuk menembus alam mimpi, yang selanjutnya coba untuk mengajak bintang-bintang menari. Perjalanan mimpiku malam ini berawal dari sebuah danau. Danau yang cukup bersih dengan riak airnya di titik-titik penuh aura kesucian. Tampak sepasang burung sedang bercengkerama sambil menikmati indahnya menembus awan yang satu ke awan yang lain. Tak jauh dari tepi danau yang berselimut kabut tipis itu, tampak sesosok perempuan yang dengan asyiknya sedang membasuh tubuhnya dengan air danau yang bening menggoda itu. Dengan kemolekan tubuhnya bak bidadari yang mencari ketenangan, dia terlihat sangat mempesona. Setiap jengkal tubuhnya tampak sangat mengagumkan bagi siapa saja yang menatapnya. Tak sadar hasrat ini mulai tumbuh. Menuju puncak angan, ingin menggapai sang bidadari. Namun, hal itu datang kembali. Celanaku kembali basah. Entah karena apa, yang pasti sedetik kemudian aku telah berada di sebuah tempat yang sangat sepi. Di depanku hanya ada sebuah air terjun yang tak cukup besar menatapku bisu. Airnya yang tenang jatuh tepat kepada bagian bawah tubuhku. Aku yang tengah dalam posisi berbaring di atas batu pun, merasa kedinginan dengan hal itu. Ku berdiri untuk menjauh dari tempat itu. Tapi keberuntungan tak berpihak padaku. Kakiku terpeleset sebuah batu yang cukup licin. Aku terjatuh ke belakang dan kepalaku membentur batu itu dengan keras. Tapi aneh, batu itu terasa empuk. Saat ku pegang batu itu, ternyata itu adalah bantal yang ada di kamarku. Ini kamarku. Aku telah kembali. Ku hembuskan nafas lega sambil menutup mata untuk sejenak. Tak berapa lama aku terbangun dengan seluruh tubuh telah basah. Di depanku telah berdiri ibuku dengan ember di tangan. Ternyata aku baru saja disiram dengan air. Ibuku marah karena aku tak mau bangun-bangun dari tadi. Sejenak aku terdiam, masihkah ku bermimpi?
  • Kamis
Tak banyak hal penting yang aku pikirkan. Hanya mengalir ikuti alur. Just let it flow. Tapi itu tak berarti aku tak memikirkan hidupku. Ku jalani hidup ini dengan sebuah tujuan demi menemukan sebuah arti. Banyak juga mimpi yang aku jaga. Mimpi bagaikan sebuah bunga di taman penuh cinta. Saat kau sirami dan rawat mimpi itu dengan siraman cahaya hati dan kasih sayang, kelak mimpi itu akan bersemi seindah bunga di taman. Itu pengandaian mimpi yang aku baca dari sebuah buku yang ada di depanku ini. Ku tutup buku itu dan berjalan dengan perlahan menuju tempat pembaringan. Sejenak ku berpikir tentang hari-hari kemarin. Mataku yang lelah mulai terpejam di dalam kamarku yang telah kelam sejak tadi. Seperti melayang, ku terbang melampaui langit biru dengan awan yang tampak putih bersih. Ku melayang dengan hati berdebar seakan takut untuk jatuh. Di depan sana ku lihat awan gelap mulai merayap. Ku lewati dengan mata terpejam seolah takut tubuh ini tertimpa hujaman air di dalamnya. Memang benar, tubuhku basah terkena air yang jatuh dari awan gelap itu. Saat ku mulai berani untuk membuka mata, ku sadari diriku telah berada di sebuah kamar mandi. Tubuh ini tanpa sehelai benang pun. Rasa gatal menyelimuti tubuhku. Ku mulai membasuh tubuh ini, menyabuninya, serta membasuhnya lagi. Segar aroma sabun, bersih dengan kebasahan ini. Tak sengaja sabun yang ada di sampingku jatuh. Ku coba untuk memungutnya. Namun, kakiku terpeleset lagi. Kepalaku membentur pintu kamar mandi yang terbuat dari besi itu. Bukan sakit yang ku dapat, tetapi empuk terasa di kepalaku. Ternyata aku terjatuh di karpet lantai kamarku. Aku tak mengerti apa yang telah terjadi. Bingung membuatku semakin bingung. Ku lupakan semua itu dan segera bangkit untuk mandi. Sinar mentari yang hangat telah masuk ke kamar melalui celah-celah jendela. Ku niatkan mengawali hari ini dengan semangat. Namun hati ini tetap menggumam, mimpikah ini?
  • Jumat
Mimpi, basah, dan aneh. Hal-hal itu yang membayangiku. Inginku mencoba menghapusnya, namun tak bisa. Seperti kisah cintaku yang tak akan bisa ku hapus dengan cepat. Saat hati ini bimbang seakan mengalami dilema besar, ku coba untuk meraih cahaya itu walau habis terang. Suatu waktu aku akan kembali pulang ke dalam anganku yang lalu. Hatiku berbisik lirih, tak perlu keliling dunia untuk mencari cinta. Bagai kepompong yang berusaha menjadi kupu-kupu, aku juga berusaha mencari cinta sejatiku. Suatu saat nanti ku yakin akhir cinta abadi akan ku dapatkan. Walau kau berada di tempat berbeda, tapi kau matahariku yang akan menyinariku setiap saat. Ku tak ‘kan bisa menghapus jejakmu. Hari yang cerah ini karena engkau. Tak ‘kan sanggup ku simpan kau di balik awan. Ku rasakan cinta ini membunuhku, ku tak bisa hidup tanpamu. Terlalu sadis andai kau diam tanpa kata, tega nian andai kau acuhkan aku. Namun pada akhirnya ku berpikir, hiperbolakah mimpiku ini?
  • Sabtu
Ku tak berpikir macam-macam saat ku alami mimpi itu. Ku hanya merasa bahwa mimpi itu terlalu aneh. Ku dapat basah yang nantinya berujung basah. Ku berharap untuk malam ini semoga tak ada mimpi aneh itu lagi. Seketika itu ku teringat kejadian basah yang aku alami maupun lihat tadi siang. Temanku yang berulang tahun diangkat dan kemudian dimasukkan ke dalam kolam. Basah tubuhnya tak membuatnya malu namun menjadikannya tambah aneh saja. Di kelas, temanku menumpahkan air yang ada di botol minumnya. Mungkin karena kecerobohannya, sehingga air itu tumpah mengenai sebagian bajunya. Di kantin sekolah, temanku dengan usilnya menyiram sepatuku dengan air mineral yang diminumnya. Sewaktu pulang sekolah, hujan turun dengan lebatnya. Walau sudah memakai jas hujan, namun tetap saja basah baju seragamku. Mungkin saja basah tak akan lepas dari hidupku. Inginku hidup tenang tanpa mimpi itu. Doa ku panjatkan dan akhirnya pagi menjemputku. Tanpa mimpi itu, tanpa basah itu. Aku bangun dengan semangat tinggi. Tapi hati kecilku turut bicara, mungkinkah ini di dalam mimpi?
  • Minggu
Mata dibalas mata. Semua yang kita lakukan di dunia, nanti akan mendapat balasannya. Seiring berjalannya waktu, semua yang tercipta akan selalu berubah. Setiap detik adalah perubahan. Entah sekarang, besok, ataupun nanti, nyawa kita pastilah akan berpisah dengan raga kita. Sekarang ku sandarkan angan harapan di pundak sang Agung. Hidup sempurna tak akan bisa. Namun mendekati sempurna bukanlah hal mustahil. Hanya sederhana, don’t use the same word for tomorrow. Jangan lakukan kesalahan yang sama untuk esok hari. Uh, hidup sungguh berat. Untukku hidup masih lebih ringan daripada harus menjalani mimpi-mimpiku yang aneh. Malam ini aku berharap semoga mimpi itu tak datang lagi. Ku pejamkan mata dan ku redupkan anganku. Walau mata ini terpejam, tapi entah kenapa sepertinya cahaya terang sangat menyilaukan mataku. Saat ku buka mata, nampak tubuhku telah melayang melewati awan-awan putih yang cukup cerah. Tubuhku diangkat oleh puluhan peri kecil yang sangat imut. Mereka sangat bersemangat mengajakku terbang melampaui setiap inchi lapisan langit. Tak terasa bumi di bawah sana sudah terlihat sangat kecil. Tampak di depan mataku sebuah istana di atas awan yang sangat megah. Banyak bidadari yang terbang hilir mudik di depanku. Tubuh mereka yang mengagumkan membuat mataku terpana. Tak tampak rasa malu di wajah mereka walau mereka hanya memakai pakaian tipis dari kain sutra. Tubuhku kemudian diajak masuk ke dalam istana oleh puluhan peri tadi. Entah ke mana aku tak tahu sampai akhirnya aku masuk ke dalam sebuah ruangan. Itu bukan ruangan tapi sebuah taman dengan kolam yang luas menghiasinya. Di kolam itu ada tiga bidadari yang sedang mandi. Tak ada sehelai benang pun yang melekat pada tubuh mereka. Pemandangan itu sangat mengesankan. Tubuh elok mereka sangat menawan. Tak terasa anganku menuju puncaknya. Semakin lama di istana awan ini, pikiranku semakin menggila. Aku tak tahu ini mimpi atau bukan. Selain tiga bidadari yang sedang mandi tadi, di taman itu juga menjadi tempat bermainnya para penghuni istana. Bidadari-bidadari saling berkejaran di sekelilingku. Anganku benar-benar hampir mencapai puncaknya. Sungguh berat beban ini. Ingin ku tahan lebih lama namun tak bisa. Perasaanku meluap, anganku meleleh. Tubuhku terhempas kembali ke tempat tidurku. Ku buka mata dan ku lihat sekelilingku. Ini benar kamarku. Ada sesuatu yang basah di celanaku. Ku coba untuk merabanya dan ku yakin itu basah. Basah ini di dalam tak seperti kemarin. Ya, aku yakin tentang hal ini. Mungkin ini akhir dari semua mimpiku. Penderitaan berujung bahagia. Rasa lelah yang menyelimutiku membuatku tertidur kembali. Basah itu tak ku hiraukan. Di dalam mimpi ini ku bermimpi bahwa mimpiku ini ada di dalam mimpi. Aku berharap semua berakhir. Namun tak ada yang bisa menjawab, di manakah mimpiku ini akan berakhir?
Baca SelengkapnyaDream In The Dream (When I Get The Wet)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Senyum Seorang Bidadari

Taman ini masih sama seperti dulu. Masih hijau karena rumputnya, masih indah karena bunganya, dan masih sejuk karena kenangannya. Taman ini juga masih sama seperti dulu. Masih lekat di ingatan, masih tersimpan di memori, dan masih terkenang di dalam mimpi. Taman ini jadi saksi bisu saat kita sering habiskan waktu di sini. Saat kita menatap senja di sisi tak terjangkau.

Masih di bangku ini aku duduk. Tak bosannya kutatap wajahmu. Masih sama seperti dulu, tetap menenangkan. Kau tampak asyik menonton tingkah polah beberapa anak balita yang sedang bermain. Tawa riang anak-anak itu seakan tak terdengar di telingaku. Hanya nyanyian hatiku yang terdengar, hati yang bersemi karena menatapmu. Tiba-tiba kau menoleh ke arahku dan tersenyum. Senyum yang tak ternilai harganya, senyum seorang bidadari. Aku tak bisa berkata apa-apa, selain hanya tersenyum. Dari rautmu aku tahu kau heran. Heran dengan tingkahku. Kau tersenyum sekali lagi dan berpaling kembali menonton anak-anak itu.

Tampak di keningmu setetes keringat berusaha untuk meleleh turun ke pipimu. Namun itu tak dapat hilangkan aura kedamaian di wajahmu. Aura yang dapat hilangkan gundahku, aura yang dapat mengisi kembali semangatku yang mulai pudar. Kau ambil tisu di saku celanamu dan mulai hapuskan keringatmu. Angin pun berhembus dan meniup tisumu jatuh. Dan saat kau membungkuk untuk mengambil tisu itu, aku bisa melihat apa yang tadinya kuharap hanya imajinasiku. Di sisi lain, dia juga tak bosan menatapmu. Tangan kalian saling menggenggam seperti sebuah simpul yang tak mau lepas. Seiring dengan hancurnya hatiku, kukuatkan diriku. Aku harap dia juga merasakan hal yang sama denganku saat menatapmu.
Baca SelengkapnyaSenyum Seorang Bidadari

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Satu Huruf

“Selamat malam Thifa dan nice dream…..,” kata Diko mengakhiri pembicaraan.
Baru saja Thifa menelepon ke handphone Diko sambil sedikit menangis. Sudah tiga hari ini mereka berdua tidak berjumpa. Diko sedih ketika Thifa mengatakan kekangenannya sambil terisak. Diko memang sedang berlibur di rumah saudaranya yang ada di Medan. Baru beberapa hari lagi Diko akan pulang ke Jogja. Di dalam hati Diko pun turut bersedih. Bagaimana tidak, sepasang kekasih yang ke mana-mana selalu bersama ini tak akan berjumpa untuk waktu satu minggu. Yah, memang terkesan berlebihan. Tapi memang itulah kenyataaannya.
Entah kenapa malam ini Diko belum merasa mengantuk. Mungkin gara-gara tadi siang Diko tidur lama sekali. Sifat Diko yang suka sekali tidur sudah sering dikritik oleh Thifa. Cewek itu tak suka karena merasa waktu untuk dirinya menjadi berkurang. Terbukti, sewaktu tidur siang tadi di handphone Diko terdapat lima panggilan tak terjawab dan tiga SMS yang masuk.
Sekarang Diko bersandar di dinding kamar lantai dua ini. Sambil membaca novel berjudul Love Before Death milik tantenya, Diko terdiam menyelami isi novel itu. Novel itu bercerita tentang seorang wanita yang memendam rasa cintanya kepada seorang pria. Si wanita tak berani mengungkapkan perasaannya. Dia hanya berani memberi hadiah kepada pria itu serta melakukan hal-hal yang membuat pria itu senang. Waktu terus berlalu hingga si wanita berani untuk mengungkapkan perasaannya. Sesaat sebelum si wanita mengungkapkannya, pria yang menjadi cintanya itu mati karena menyelamatkan si wanita yang hampir tertabrak truk. Wanita itu menangis sejadi-jadinya di tempat itu. Yang tak diketahui oleh si wanita adalah ternyata pria itu juga mempunyai rasa yang sama dengan si wanita itu. Memang, cinta tak mudah untuk dimengerti.
Setelah novel itu selesai Diko baca, dia teringat akan kenangannya yang sulit untuk dilupakan. Kenangan yang dimulai setengah tahun yang lalu. Kenangan yang sempat membuatnya bingung. Tak butuh waktu lama Diko masuk ke dalam lamunannya lagi.

###

Waktu menunjukkan pukul 8 malam. Suara jangkrik mulai terdengar bersahut-sahutan. Diko sedang sibuk dengan buku sejarahnya. Belajar, belajar, dan belajar. Besok adalah hari keenam ujian semesternya. Mata pelajaran besok cukup membuat Diko pusing, Sejarah dan Seni Rupa. Bukan Seni Rupa yang membuatnya pusing, tapi Sejarah. Diko paling tak bisa mengingat terlalu detail tentang pelajaran Sejarah. Maka dari itu, Diko dengan sungguh-sungguh membaca dan membaca buku sejarah yang ada di tangannya itu. Tiba-tiba handphone di sampingnya berbunyi. Ada SMS masuk. Dari Thifa. Tumben sekali dia SMS. Seingat Diko baru dua kali selama enam bulan terakhir ini Thifa mengirim SMS kepadanya. Diko penasaran apa isinya.

Mlm, mav klo ggg. Bsk aq blh pnjm bk pkt sjrhmu g? Sekali lg mav klo ggg

Tepat seperti dugaan Diko, hanya keperluan seperti itu. Tanpa banyak berpikir Diko langsung membalasnya.

Y

Sebuah jawaban singkat dari Diko. Sangat singkat malahan. Diko kemudian melanjutkan belajarnya tanpa memikirkan reaksi ataupun keterkejutan Thifa yang menerima SMS tersebut. Satu huruf itu akan merubah kehidupan Diko dan Thifa segera.
Keesokan harinya Diko langsung menemui Thifa yang telah menunggunya dari tadi. Diko meminta maaf karena telah membuat Thifa menunggu. Diko segera menyerahkan buku paket sejarah yang dipinjam Thifa tadi malam lewat SMS. Tampak raut kegembiraan di wajah Thifa. Entah kenapa Diko pun tak tahu. Setelah itu, Diko segera melanjutkan belajarnya tadi malam. Diko tak ingin nilai sejarahnya jelek.
Hari ini berlalu dengan menyenangkan. Diko berhasil mengerjakan soal-soal tadi dengan perasaan yakin. Tentang hasilnya, Diko tak mau memikirkannya. Yang penting mengerjakan dengan yakin. Di rumah, Diko menghabiskan waktunya untuk membaca komik kegemarannya. Saking asyiknya tak terasa hari mulai malam.
Seperti kemarin, sekarang waktu menunjukkan pukul 8 malam. Handphone Diko berbunyi. Kembali, SMS dari Tifa. Ada apa gerangan hingga Thifa kembali menghubungi Diko. Besok hari Minggu, tak mungkin Thifa bertanya tentang pelajaran. Sekali lagi dengan penasaran dia baca SMS itu.

Mlm, dik. Mav klo ggg, tp makaci bukuny td y. Gy ngapa nich?

Kaget. Begitulah perasaan Diko. Tak biasanya Thifa mengiriminya SMS seperti itu. Tanpa berpikir macam-macam Diko segera membalasnya.

Mlm. Aq gy nntn tv ni. Da p’lu pa y?

Balas-membalas SMS pun terjadi. Hingga akhirnya pukul 10 malam Diko memutuskan untuk tidur. Setelah malam itu, hampir setiap malam Thifa mengirim SMS kepada Diko. Diko yang mulai berpikir tentang satu hal, tak keberatan dengan hal itu.
Seperti biasa, Diko menerima SMS dari Thifa. Iseng Diko memberi kuis kecil kepada Thifa. Diko memang suka kepada tebakan-tebakan yang aneh.

552688 74446682777

“Hei, Dik! SMSmu tadi malam artinya apa sih? Yang angka itu lho,” tanya Thifa keesokan harinya di kelas.
“Belum tahu juga artinya? Mau aku kasih tahu?” Diko menawarkan.
“Boleh,”
“Angka-angka itu menunjukkan huruf,”
“Maksudmu?”
“Coba kamu pencet tombol di handphone sebanyak jumlah angka itu. Misal 55, kamu pencet angka 5 sebanyak 2 kali. Apa yang muncul?”
“Huruf K,”
“Benar. Sekarang teruskan!”
“2 jadi A, 6 jadi M, 88 jadi U, iya kan?”
“Tepat!”
“Jadi artinya.........KAMU PINTAR. Benar nggak?”
“Tepat! Mudah ‘kan?” tanya Diko.
“Ouw, gitu. Ternyata mudah banget ya. Kamu pintar Diko,” puji Thifa.
Diko tersipu malu mendengar pujian tersebut. Baru pertama kali ini Thifa memujinya seperti itu. Rasanya seperti mimpi. Tapi di sisi lain, Thifa heran kepada Diko. Betapa mudahnya pertanyaan Diko tapi dia tak bisa menjawabnya. Diko sangatlah pintar pikirnya. Hal lain yang membuatnya heran adalah perubahan Diko. Selama ini dia mengenal Diko sebagai teman yang pendiam dan jarang ngobrol dengan cewek di kelasnya. Tapi semenjak Thifa sering SMS dan ngobrol dengan Diko, Diko berubah. Dia jadi sering ngobrol dengan cewek di kelasnya, tidak acuh lagi terhadap cewek, dan pastinya Diko tidak pendiam lagi.
Setelah hari itu, SMS dari Thifa yang masuk ke handphone Diko pun menjadi setiap hari. Huruf Y, satu huruf itu telah mengubah kehidupan Diko dan Thifa. Dua insan yang sebelumnya jarang atau bisa dibilang tak pernah saling berkomunikasi ini, sekarang menjadi akrab. Mereka jadi sering ngobrol, bercanda, atau yang biasa dilakukan, SMS.
Entah kenapa setiap hari wajah Thifa selalu terlihat ceria. Hal yang aneh menurut teman-temannya. Tak pernah dia seceria ini. Wajah ceria itu menjadi sangat tampak tiap kali Thifa ngobrol dengan Diko. Pernah suatu kali ketika Diko tersenyum, wajah Thifa tampak memerah mungkin bahagia bercampur malu. Namun wajah ceria itu tak nampak lagi ketika Thifa membaca SMS dari Diko. Hanya raut kebingungan yang hadir menghiasinya.

317965#71359#3145479#742697#8213

Tiap Diko memberi kuis kepada Thifa, dia pasti memberikan waktu semalam untuk Thifa berpikir. Diko yakin pasti Thifa tidak bisa menjawabnya. Keyakinan itu menjadi kenyataan di keesokan harinya.
“Aku nyerah, Dik! Kuismu sulit banget.....,” keluh Thifa sembari duduk di sebelah Diko.
“Haduhadu, cuma segitu aja nggak bisa? Gampang banget kok,” jawab Diko sambil tersenyum.
“Sudahlah, apa jawabannya?”
“Pertama pegang handphonemu. Kemudian hubungkan angka-angka itu,”
“Maksudmu?”
“Hubungkan angka-angka itu berdasar handphonemu,”
“Gimana sih?”
“Lihat handphonemu, terus hubungkan angka-angka itu. Contohnya, 317965 kalau dihubungkan dengan garis akan membentuk huruf G ‘kan?”
“3, 1, 7, 9, 6, 5…….iya, iya, huruf G!” seru Thifa kegirangan.
“Coba dengan yang lain!” perintah Diko.
“Tanda pagar ini untuk apa?”
“Itu sebagai pemisah antarhuruf ,”
“7, 1, 3, 5, 9......huruf R ya?”
“Tepat,”
“Jadi arti keseluruhannya adalah........hmm.......G, R, E, A, T......GREAT ‘kan?”
“Tepat! Good job, girl,”
“Hore.....! Tapi kok gampang banget sih. Tadi malam aku mikir itu sampai pusing lho,”
“Semua kuis yang aku kasih itu simple kok,”
“Kamu pintar Diko,”
Sekali lagi pujian keluar dari mulut Thifa. Entah sudah berapa kali. Hal itu membuat kesimpulan Diko hampir benar. Kesimpulan yang ada di hatinya. Juga perasaan yang ada di hati Thifa.
“Eh, kamu sudah punya someone special ya?” Diko bertanya kepada Thifa suatu hari. Pertanyaan itu mengejutkan Thifa.
“Kok kamu tahu?” Thifa malah balik bertanya.
”Aku cuma tanya kok,” jawab Diko enteng diiringi senyum tipis di bibirnya.
Sepenggal jawaban dari Thifa tadi cukup meyakinkan Diko. Entah tentang apa, tapi yang pasti dia cukup yakin.
Malam minggu, malam untuk para pencari cinta. Malam ini Diko terpaku kepada buku yang sedang dibacanya. Buku yang menurut teman-temannya tak menarik itu berjudul ”Trik Membaca Raut Wajah”. Tepat saat Diko sedang membaca halaman tengah buku itu, handphone Diko bergetar. SMS dari Thifa. Kali ini Diko tak perlu terkejut. Hal yang biasa telah menjadi kebiasaan. Malahan sering kali tiap dia menerima SMS dari Thifa, dia menggerutu ”Ganggu orang aja”.
Seperti malam-malam yang telah lalu, malam ini pun kedua insan itu asyik ber-SMS ria. Dan seperti malam-malam yang lalu, Diko pun memberi tebakan kecil kepada Thifa. Walau bukan tebakan, tapi hanya sekedar kalimat panjang.

Hai dunia yang cantik, tanya bintang maukah sang bulan kau
rayu untuk jadi teman tidur kekasihku?

Seperti tebakan-tebakan yang lalu, Thifa tak dapat mengerti jalan pikiran Diko. Menurutnya, Diko itu terlalu aneh untuk dipikirkan. Thifa bermaksud menanyakan apa maksud dari pesan tersebut esok hari.
”Hei, Dik!” sapa Thifa saat jam istirahat sekolah.
”Hei, juga!” Diko balik menyapa.
”Kalimatmu tadi malam maksudnya apa sih?” tanya Thifa tak sabar.
”Itu nggak perlu dipikirkan. Aku harap kamu sendiri yang tahu, tanpa aku kasih tahu,”
”Kenapa?”
”Pokoknya aku nggak mau kasih tahu sekarang,”
”Oke kalau begitu,”
Diko tersenyum dalam hati. Dia hanya sekedar iseng, namun isi dari pesan Diko itu segera akan terjadi. Dia berpikir, ini belum saatnya. Di lain pihak, Thifa bingung dengan pesan tersebut. Dia akan terus mencoba mencari tahu arti pesan itu, namun dengan waktu yang lama.
Hari ini hari Selasa. Wajah murid-murid Poema, Diko menyebut kelasnya begitu, terlihat sangat ceria. Jam pertama hari ini adalah pelajaran Matematika. Gurunya yang kocak membuat Diko dan teman-temannya cukup menikmati pelajaran tersebut. Saking kocaknya, Pak Badu, nama guru tersebut, sering membuat lelucon dengan menjodoh-jodohkan anak didiknya tersebut. Hari ini giliran Diko yang dijodohkan dengan Tami. Tapi anehnya, teman-teman Diko tak ramai seperti biasanya. Biasanya, saat Pak Badu mulai menjodoh-jodohkan, kelas itu rasanya akan pecah karena suara tawa penghuninya. Mungkin karena murid-murid telah bosan dengan hal itu. Namun ada seseorang yang sepertinya tak senang mendengar lelucon Pak Badu tersebut. Entah mengapa.
Percakapan antara Diko dan Thifa di jam istirahat telah terjadi. Canda tawa mengiringinya.
”Eh, tadi waktu kamu dijodohin sama Tami, ada seseorang yang bilang ’kenapa sama Tami? Kenapa nggak sama aku saja?’ lho,” kata Thifa serius.
”Hmm.....kayaknya aku tahu siapa orangnya,” jawab Diko yakin.
”Yang benar?” tanya Thifa tak yakin.
”Saat Pak Badu njodohin, kelas sedang tenang. Kalau kamu dengar orang tadi bilang begitu, berarti dia ada di dekat kamu. Entah di depan, belakang, atau samping. Misal dia di depanmu, sepertinya kamu nggak mungkin dengar karena suaranya pasti cuma pelan. Di belakang dan samping kananmu ada cowok. Jadi nggak mungkin. Yang tersisa hanya teman yang ada di samping kirimu yang duduk di sebelahmu itu dan mungkin juga orang itu kamu sendiri,”
Thifa terkejut mendengarnya.
”Tapi Fani, yang duduk di sebelahmu, sepertinya mustahil. Dia nggak mungkin bilang terang-terangan kayak gitu. Sudah pasti, yang tersisa cuma kamu. Iya ’kan Thifa?” lanjut Diko.
”Eh, eh......oke, aku ngaku. Orang itu memang aku. Sebenarnya aku itu suka sama kamu. Tapi aku malu,” Thifa berkata sambil tersipu dalam kondisi masih kaget.
Hati Diko bersemu merah. Begitu juga hati Thifa. Dengan lemparan Strike, Diko berhasil membuat Thifa mengaku. Terkesan seperti detektif. Namun status tidak langsung mereka ambil. Hanya berteman lebih dahulu, itu kesepakatan keduanya.
Hari demi hari berlalu hingga berganti minggu dan bulan. Tepat pada tanggal 26 Februari, Thifa memberikan kado kepada Diko. Hari itu Diko berulang tahun. Sungguh bahagianya.
Hari-hari dilalui mereka berdua dengan canda tawa, cemburu, tangis, dan saling curhat. Canda tawa sangat sering mereka tunjukkan melalui SMS. Tangis dan cemburu pernah melanda Thifa saat dia melihat Diko berada di sebuah bus Trans Jogja. Kejadian itu cukup membuat Thifa merasa sedih. Namun itu tak berlangsung lama, karena Diko mampu membuat hati Thifa ceria kembali. Curhat, hampir setiap hari mereka lakukan.
Satu bulan setelah ulang tahun Diko, tepatnya tanggal 31 Maret, status akhirnya mereka ambil. Diko dan Thifa akhirnya berstatus. Thifa pun bercerita bahwa dia mulai suka kepada Diko setelah dia menerima balasan SMS dari Diko yang berisi satu huruf, Y. Entah kenapa, Thifa rasanya senang sekali mendapat balasan itu. Siapa sangka, satu huruf itu mampu mengubah kehidupan dua insan yang sedang tumbuh mencari jati diri mereka. Satu huruf yang hebat.
Bulan demi bulan telah berganti. Diko dan Thifa menjalani hari mereka dengan ditemani sang mega dan matahari. Penuh ceria, sedih, tangis, emosi, pertengkaran, cemburu, dan saling memaafkan. Diko akhirnya memberitahukan maksud dari pesan yang Thifa belum tahu artinya.
”Masih ingat ’kan kalimatnya? HAI DUNIA YANG CANTIK, TANYA BINTANG MAUKAH SANG BULAN KAU RAYU UNTUK JADI TEMAN TIDUR KEKASIHKU? Coba kamu ambil kata pertamanya!” Diko mulai menjelaskan.
”HAI?” tanya Thifa.
”Benar. Sekarang ambil kata ketiga setelah kata pertama. CANTIK. Setelah itu lanjutkan tiap kata ketiga hingga akhir,”
”MAUKAH, KAU, JADI, KEKASIHKU?”
”Sekarang rangkai semuanya,”
”HAI CANTIK, MAUKAH KAU JADI KEKASIHKU?”
”Mau?”
”Jadi kamu dari dulu......,”
”Gimana ya?? Nggak tahu ah…..,”
“Kamu jahat. Kenapa nggak bilang dari dulu?”
”Kalau aku bilang dulu, nanti kamu nggak nembak aku donk. Hahahahaha........,”
”Diko jahat..................,” seru Thifa disusul dengan tawa mereka berdua.

###

Lamunan Diko pecah saat suara tantenya memanggil. Diko segera tidur setelah menjawab panggilan tantenya itu. Kenangan itu membuatnya tersenyum sendiri. Hingga sekarang kenangan itu akan tetap dijaganya bersama Thifa. Menjalani hari mereka berdua diiringi irama sang mentari. Bersahutan bersama nada kicau sang burung perak. Entah sampai kapan, yang pasti Diko bahagia menjalani hari-harinya bersama Thifa.
Baca SelengkapnyaSatu Huruf

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS