RSS

Sistem kadang berjalan apa adanya, kita tak pernah terpikir untuk mengubahnya. Sistem adalah sesuatu yang membantu, pembantu yang berkuasa. Dunia adalah sistem itu. Sejenak berpikir kritis, dunia yang kelam perlahan beranjak estetis.

Malam Para Bayangan

           Kota ini telah sunyi sedari tadi. Tak nampak tanda-tanda kehidupan dari manusia di sini. Yang nampak hanyalah kehidupan para penghuni malam. Beberapa burung hantu menyebar untuk hinggap di pohon besar di kebun yang gelap gulita. Di sebuah sudut kota, terlihat seekor tikus sedang mengejar jangkrik yang melompat dengan lincah. Tak lama muncul seekor kucing yang langsung mengejar tikus tadi. Sesaat kemudian sebuah gonggongan terdengar disertai kemunculan seekor anjing liar yang tanpa ampun mengejar kucing tadi. Betapa meriahnya sisi lain dari kehidupan malam.
            Kabut tebal kelam menambah sunyinya malam yang perlahan berganti pagi. Tengah malam, waktunya setan keluar—yang nampak maupun yang tak kasat mata. Berbanding terbalik dengan suasana kota, suasana dunia di balik cermin cukuplah ramai. Dunia terbalik di balik cermin, dunia para bayangan. Di sana berkumpul bayangan dari berbagai macam orang. Dari orang yang paling baik hingga yang paling jahat ada di sana. Mereka saling bercerita tentang bagaimana sifat dan karakter pemilik mereka.
            Bayangan seorang koruptor bercerita bahwa hampir setiap hari dia bertemu pejabat. Pejabat-pejabat penting yang hilir-mudik masuk ke ruangan si koruptor itu. Hampir tak kenal lelah si koruptor itu menengadahkan tangan untuk menerima uang haram itu. Bayangan itu tak tahan dengan keadaan tersebut. Dia ingin lepas dari si koruptor. Belum tuntas cerita bayangan koruptor, bayangan seorang pencuri menyela. Dia bercerita bahwa si pencuri itu hampir tiap hari berjalan mengendap-endap di malam hari. Langkahnya seperti tak bersuara, sangat pelan. Dengan cekatan dia membongkar isi rumah incarannya dan menguras barang yang ada. Bayangan si pencuri itu merasa tersiksa hraus mengambil barang-barang milik orang lain. Seandainya bisa dia telah pergi menjauh dari pencuri itu jauh-jauh hari.
            Bayangan seorang anak kecil akhirnya angkat bicara. Dia menuturkan bahwa hari-harinya sangat menyenangkan. Si anak hampir tiap hari bermain dengan ceria. Tak banyak kenakalan yang dilakukan anak itu. Jikalau nakal, itu pun tidak seberat yang dilakukan koruptor dan pencuri. Di samping bayangan anak kecil tadi berdirilah bayangan seorang ahli ibadah. Tiap hari dia pergi ke tempat ibadah. Dia gunakan waktu yang ada di hidupnya untuk hal-hal yang berguna. Setiap langkahnya penuh perhitungan, setiap tindakannya penuh pemikiran. Jalan yang dia pilih bukan jalan keburukan, tapi jalan kedamaian penuh ketentraman. Bayangan ahli ibadah itu sangatlah bersyukur mempunyai pemilik yang seperti itu.
            Perbincangan para bayangan belum selesai kecuali kota itu telah menampakkan geliat kehidupannya kembali. Para bayangan saling bercerita tentang hari-hari mereka. Suka, duka, lara, tawa, semua tercurah di setiap malam. Malam para bayangan di dunia para bayangan. Walau kita melihat bayangan selalu mengikuti apa yang kita lakukan, tapi kita tak tahu apa yang mereka rasakan. Kita tak tahu apa kata hati mereka. Di setiap laku kita ada bayangan yang selalu mengikuti kita. Maka dari itu, lakukan hal yang berguna bagi orang lain dan dunia. Semua yang berguna tentunya akan baik di akhirnya. Lakukan hingga bayangan kita tersenyum saat kita tak tersenyum.
Baca SelengkapnyaMalam Para Bayangan

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kembang-Kembang Sederhana di Lemari Es (oleh Dana Marlowe)

  Aku ingin kembali ke hari-hari hati-hati berbentuk miring, digambar di atas kertas dengan matahari seperempat di sudut kanan atas, leret cahaya jingga dan merah menerpaku. Ke saat ketika “dia mencintaiku” selalu muncul dan tak pernah “dia tak mencintaiku”. Hari-hari kembang-kembang sederhana, titik merah di tengah terlalu banyak kelopak bunga warna kuning dan daun-daun tak simetris di tangkainya yang panjang.
            Ketika petak-petak permainan engklek menghias jalanan hitam dengan gores kapur jalan nan tebal warna merah jambu. Suatu masa saat lonceng mobil es krim berarti keasyikan ekstra yang istimewa di sore nan lembap.
            Hari-hari ketika putih dan hitam dan biru dan hijau dan abu-abu dan cokelat dan ungu dan oranye hanyalah warna-warna tanpa makna dan bukan ujian pengadilan ‘tuk warna kulit. Kala boneka-boneka beruang sarat cinta dan penghiburan, telinga kanannya bergayut pada dua untai benang cokelat tipis.
           Aku ingin kembali ke barbeque dan piknik penuh roti isi bentuk segitiga, hot dog, dan keripik kentang, bahkan yang hijau sekalipun. Kala daftar perkalianku memperoleh tempat utama di pintu lemari es. Saat menghirup aroma rerumputan yang baru dipotong sembari mencabut mahkota-mahkota kuning dandelion, bermain bersama anjing bichon frise putih milik tetangga sampai ke masa menyusun bangunan balok-balok kayu dan adik laki-lakiku menghancurkannya.
                Aku ingin kembali ke hari-hari itu yang kini tinggal gambar-gambar dalam album foto warna marun yang berdebu. Ingin diriku tinggal di sana dan tak pernah kembali lagi.


*Diambil dari buku Teen Ink

Masa kanak-kanak memang sangat menyenangkan. Semua kenangan masa itu akan selalu terkenang dan akan tersimpan di dinding hati selamanya.
Baca SelengkapnyaKembang-Kembang Sederhana di Lemari Es (oleh Dana Marlowe)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tawar-Menawar dengan Tuhan (oleh Kelly Donald)

            Kalau aku memikirkan keluargaku, aku menganggapnya “normal”. Dua orangtua bekerja, satu putri, seorang putra, bahkan pagar rumah warna putih. Kehidupan kami stabil dan mantap—sampai suatu hari di bulan Januari.
            Hari itu hari Minggu pagi dan aku baru saja akan berangkat untuk tugasku sebagai baby-sitter. Pintu kamarku tertutup. Tiba-tiba ibuku berlari menaiki tangga, meneriakkan namaku. Kupikir pasti ayah sedang bergurau dan mengejarnya, seperti yang sering kali dilakukannya. Kubuka pintu untuk menonton canda ria itu. Entah karena air mata di mata ibuku atau karena ekspresi ketakutannya, yang jelas aku langsung tahu ada yang benar-benar tidak beres. Dalam sekejap aku sudah di bawah bersama keluargaku, mata kami dipenuhi air mata dan wajah kami ketakutan. Ayahku di ruang bawah tanah, didudukkan di kursi, tubuhnya yang lemas dipegangi oleh kakak laki-lakiku. Ia nyaris tak bisa berjalan, hanya gumaman tidak jelas yang keluar dari mulutnya. Matanya terpejam erat-erat, napasnya berat.
            Ibuku menyuruhku keluar “menunggu ambulans”. Aku tak bisa protes. Paramedis akan tiba dalam dua atau tiga menit lagi, dan ketika itulah seluruh hidupku berubah. Apa yang terjadi? Apa yang akan aku lakukan tanpa ayahku? Kenapa dia? Kenapa aku? Kenapa aku tidak mengatakan padanya bahwa aku mencintainya?
               Suara sirene terdengar di kejauhan. Rasanya seperti jauh sekali.
          Akhirnya mereka tiba. Aku memohon mereka bergerak cepat. Petugas paramedis menghampiri ayahku, dan setelah memeriksanya sebentar, mereka mengangkutnya ke ambulans dan membawanya ke rumah sakit.
           Jam demi jam bergerak seperti bertahun-tahun lamanya. Akhirnya dokter datang dan memberitahu kami apa yang terjadi. Aku sama sekali tidak mengerti istilah-istilah medis yang digunakannya, tapi aku menangkap kata “stroke” di sana-sini. Ayahku, ayahku, terserang stroke? Mana mungkin hal ini terjadi?
         Dua hari lamanya ayahku dirawat di rumah sakit. Selama dua malam itu aku pun tawar-menawar dengan Tuhan. Aku sadar inilah saatnya aku membutuhkan bantuan-Nya. Aku bersumpah jika Dia tidak mengambil ayahku, aku tidak akan meminta apa-apa lagi dari-Nya. Aku berjanji akan memperhatikan ayahku. Aku akan menjanjikan apa saja asalkan ayahku kembali. Aku ingin duniaku yang hancur normal kembali.
             Semoga Tuhan mendengarkanku.
            Ketika kami datang pada hari ketiga, dokter langsung menemui kami. Katanya, dia harus bicara pada kami. Ini dia, pikirku.
           Dia mempersilakan kami duduk dan mulai bicara. Kusimak ucapannya dengan seksama. Akhirnya aku mendengar dia mengatakan “benar-benar pulih”. Tangisku pecah--akhirnya—air mata kebahagiaan. Doa-doaku telah terjawab. Aku mendapatkan kembali ayahku.
            Sejak itu, aku tahu tidak ada satu pun hal yang pasti. Sekarang, setiap kali orangtuaku mengatakan sesuatu, aku mendengarkan. Ketika duduk makan malam, kami menikmati kehadiran satu sama lain. Makan malam bukan lagi saat makan semata, tetapi juga saat untuk mengisi kepala dan hati kami dengan kenangan yang akan kami ingat selamanya. Dan aku akhirnya percaya bahwa kau tidak akan menyadari apa yang kaumiliki sampai milikmu itu nyaris diambil darimu.

*Kisah diambil dari buku Teen Ink
Baca SelengkapnyaTawar-Menawar dengan Tuhan (oleh Kelly Donald)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Senyum Matahari Senja

Jalan setapak berhias daun mangga yang gugur. Daun kering kuning kecoklatan yang bertebaran di sepanjang jalan. Saat itu musim kemarau, tepat satu tahun yang lalu. Tak ubahnya seperti oven, saat itu pun panas telah melebihi ambang batas. Bukan sungai yang aku tuju untuk mendinginkan tubuh, tapi Jalan Mangga, disebut begitu karena memang banyak pohon mangga di sana, jalan paling teduh di kampungku.
           
Semilir angin sepoi-sepoi membelaiku. Duduk bersandarkan pohon memang ampuh untuk mengusir rasa panas. Antara sadar dan mimpi, kulihat sesosok bayang-bayang tercetak di tanah karena sinar matahari yang melewati celah-celah daun. Pemilik bayang-bayang itu adalah seorang gadis anggun bak bidadari. Awalnya kukira ini hanya mimpi. Namun ranting kecil yang jatuh menimpa kepalaku mampu sadarkanku. Bukan mimpi, sangat nyata.
         
Dia berjalan semakin mendekat. Angin meniup pergi daun-daun dari jalan, seolah membuka jalan baginya. Garis-garis angin bagai di komik nampak menari-nari di sekitarnya. Kurasakan suasana menjadi lebih sejuk saat dia hadir. Matahari senja di ufuk barat seolah hiasi pemandangan di belakangnya. Sinar jingga hangat berpadu dengan kuning kecoklatan daun-daun kering ciptakan aura keemasan. Aura khas keindahan berbumbu kesedihan.
           
Langkahnya kian dekat. Ku tak rela untuk berdiri. Kakiku pun enggan untuk buatku enyah dari tempat itu. Dia mendekat, tersenyum, dan berlalu. Sempat kubalas senyumnya. Kami hanya tersenyum, tak terucap satu kata pun. Dia pergi, namun masih kuingat senyum itu. Senyum indah yang sesaat. Senyum matahari senja.
        
Matahari senja di ufuk barat. Matahari yang nampak sekarat. Indahnya hanya sekejap, lalu pergi tertutup malam. Seperti dirinya, seperti senyumnya. Menebar keindahan walau hanya sesaat. Dirinya dan senyumnya, pergi tertutup kelam. Dia adalah matahari senja. Hangat namun menyedihkan.
              
Setahun berlalu, tepat hari ini. Masih di tempat ini, di bawah pohon ini. Sekarang ku tak ingin terbuai lagi. Terbuai belaian angin sepoi-sepoi. Yang kuingin hanya dia. Dia sang matahari senja. Dia yang tebarkan senyum pesona. Di ufuk barat, matahari tetap berpijar. Sinar hangatnya jatuh menerpa sebelah wajahku. Saat itu kusadar. Tersadar akan hal itu. Di sini aku hanya menunggu. Menunggu dia yang tak mungkin hadir. Aku berharap harapan kosong. Menanti untuk hal yang sia-sia. Namun tak apa, masih ada matahari senja. Itu pun cukup untuk buatku tersenyum sekarang.
Baca SelengkapnyaSenyum Matahari Senja

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

SELAMAT IDUL FITRI 1431H

Baca SelengkapnyaSELAMAT IDUL FITRI 1431H

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tetes Air Surga

        Alkisah hiduplah seorang laki-laki tua dan seorang anaknya. Pada suatu hari mereka melakukan perjalanan melewati sebuah gurun pasir yang sangat tandus. Perbekalan yang mereka bawa hanya tersisa satu botol air. Telah tiga hari mereka berjalan, namun tujuan mereka masih seperempatnya. Dengan tertatih mereka menembus gurun tersebut. Sang anak yang berumur delapan tahun tak kehilangan semangat anak-anaknya yang menyala. Anak itu sangatlah kuat, tegar, dan mempesona. Setidaknya itu yang nampak dari fisik laki-lakinya.

            Sedang asyiknya mereka berjalan, nampaklah dari jauh seorang kakek tua dengan wajah lusuh. Dia duduk dengan bersandar kepada sebuah batu besar. Dia sangatlah kehausan. Bekal yang dibawanya hilang tersapu badai pasir. Semangatnya telah hilang. Yang diharapkan tak kunjung datang. Sebenarnya kota yang dituju telah terlihat samar-samar. Itu tandanya tujuan telah dekat. Namun karena kehausan, semua itu sama saja dengan harapan kosong. Kakek tua itu tak mampu berjalan.

            Perlahan tapi pasti, laki-laki tua dan anaknya mendekati kakek tua itu. Sebagai manusia yang punya hati, mereka tentu merasa iba. Namun dengan perbekalan ynag hanya tersisa sebotol air, sangat berat rasanya untuk menolong kakek itu. Sang anak bersikeras menolong, namun sang ayah melarang karena mempertimbangkan apa yang mungkin bisa terjadi. Akhirnya dengan terpaksa mereka meninggalkan kakek tua itu sendiri.

            Sesaat sebelum mereka pergi, sang anak teringat bahwa di kantongnya ada sebuah botol kecil yang masih terisi beberapa tetes air. Tanpa sepengetahuan ayahnya, anak itu melemparkan botol itu ke tempat sang kakek duduk. Dengan meneteskan air mata, anak itu berdoa semoga kakek itu selamat. Semangatnya tak menyala lagi. Hanya redup terbayang kakek itu.

            Kakek tua itu dengan susah payah meraih botol yang tergeletak di dekatnya. Memang sedikit isinya, hanya beberapa tetes, namun itu cukup untuk mendinginkan hatinya. Beberapa tetes air menyejukkan, tetes air surga. Dia buka tutup botol itu dan berdoa. Dengan yakin, dia meneguk air itu. Tiba-tiba semangatnya seperti terisi kembali. Dengan wajah bahagia, dia melangkah melanjutkan perjalanannya. Dia berdoa semoga anak baik hati dan ayahnya itu selamat sampai tujuan.

            Sedikit hal yang kita berikan kepada dunia mungkin tak berarti di mata kita. Namun dengan keikhlasan dan doa, hal itu akan menjadi hal besar bagi orang lain dan dunia.
Baca SelengkapnyaTetes Air Surga

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS