RSS

Sistem kadang berjalan apa adanya, kita tak pernah terpikir untuk mengubahnya. Sistem adalah sesuatu yang membantu, pembantu yang berkuasa. Dunia adalah sistem itu. Sejenak berpikir kritis, dunia yang kelam perlahan beranjak estetis.

Latah Kreativitas: Uang Instan dengan Goyang

Art by Kendari (Kaskus)
                Latah merupakan salah satu sindrom yang umum ditemui di wilayah Asia, terutama Indonesia. Secara harfiah, latah adalah ucapan atau perbuatan yang terungkap atau tidak terkendali. Penderita suka meniru ucapan atau perbuatan orang lain tanpa sadar karena yang berkuasa pada diri penderita adalah alam bawah sadarnya. Terdapat beberapa penyebab latah, antara lain adanya pemberontakan dalam diri, kecemasan yang melanda, atau kondisi lingkungan yang menyebabkan penderita ketularan.[1]
                Fenomena latah di Indonesia telah lama masuk ke dalam dunia industri hiburan, terutama dunia pertelevisian. Selain latah dalam arti sebenarnya, latah dalam hal kreativitas[2] juga telah menjadi budaya. Untuk hal ini, latah cenderung disebabkan oleh rasa tidak mau kalah dari orang lain, juga karena sifat dasar orang Indonesia yang suka ikut-ikutan. Di sisi lain, latah kreativitas ini disebabkan kurangnya rasa percaya diri sehingga takut jika dikatakan tidak mengikuti tren.
              Latah kreativitas yang paling nyata akhir-akhir ini adalah munculnya berbagai acara dengan masing-masing goyang yang menjadi ciri khas.[3] Acara-acara ini seakan tidak mau kalah untuk membuat goyangan khas meskipun jika dicermati goyangan-goyangan tersebut tidak jauh berbeda. Penonton, atau lebih tepatnya disebut peserta, rela ikut serta dalam goyang tersebut entah pribadi tersebut merasa malu atau tidak. Pada intinya, peserta-peserta tersebut secara tidak sadar ikut-ikutan dalam acara tersebut karena peserta sebelumnya.
                Munculnya acara dengan berbagai goyang ini mungkin merupakan salah satu “mata pencaharian” bagi segelintir orang. Peserta seperti menjadi ketergantungan terhadap acara ini. Mereka rela berdandan seunik mungkin, atau bisa dikatakan “kebangetan”, untuk selanjutnya bergoyang dengan peraturan yang telah ditentukan. Apakah mereka merasa dipermalukan? Entahlah. Yang pasti, beberapa peserta mengaku mereka mengantri di depan studio dari jam 12 siang, sedangkan acara dimulai jam 8 malam. Apakah ini bisa dianggap acara memengaruhi orang untuk malas bekerja? Entahlah.
                Jika sedikit perhitungan dilibatkan, maka akan muncul sebuah angka yang saya pikir cukup “wah”. Misal dalam satu hari sebuah acara menyediakan 5 juta rupiah untuk hadiah goyang. Jika tiap orang mendapat 1 juta rupiah, maka ada 5 orang bertambah kaya 1 juta rupiah tiap harinya. Sehingga dalam satu bulan, ada 150 juta rupiah untuk 150 orang. Jika dihitung selama setahun, ada 1800 orang bertambah kaya 1 juta rupiah. Itu hanya untuk sebuah acara. Jika ada 5 acara saja, maka ada 9000 orang bertambah kaya 1 juta rupiah dalam setahun. Perhitungan ini hanya jumlah hadiah minimal, jika hadiah lebih besar, maka orang yang bertambah kaya juga semakin banyak. Coba bayangkan jika semua acara bertahan minimal untuk 5 tahun saja, maka 45000 orang bertambah kaya 1 juta rupiah dalam 5 tahun. Betapa “wah”nya pengaruh acara-acara tersebut.
                  Jika kita menilik dari rating yang didapatkan acara-acara tersebut, maka hadiah yang dibagikan tersebut seakan tidak ada apa-apanya. Coba bandingkan, iklan 30 detik saja berharga 30 juta rupiah. Jika dalam sebuah acara ada 10 iklan, maka pendapatan acara tersebut adalah 300 juta rupiah. Berbeda jauh dengan hadiah yang dibagikan kepada peserta goyang. Oke, biaya produksi mahal, tapi dalam pandangan subyektif saya, hadiah tersebut jika dibandingkan dengan malu yang didapat sepertinya tidak sebanding.
                Semakin banyak penonton yang menjadi ketergantungan, semakin naik pula rating acara tersebut. Rating naik, maka penonton akan semakin banyak, rating akan semakin naik lagi, sehingga penonton menjadi semakin bertambah dan bertambah. Ini akan menjadi lingkaran rating yang terus berputar. Beberapa orang yang pernah saya ajak berdiskusi berkata bahwa beberapa acara di televisi untuk beberapa tahun terakhir semakin tidak kreatif. Acara-acara tersebut lebih mengedepankan tindakan “mempermalukan” orang daripada nilai-nilai edukasi. Acara semakin tidak kreatif, padahal tim kreatif di dalamnya semakin banyak.
                Saya, atau lebih tepatnya kita, pada dasarnya hanya bisa menikmati setiap acara-acara tersebut. Hal ini disebabkan selagi rating belum turun, acara tidak akan diakhiri penayangannya. Cukup nikmati saja dan tertawalah seperlunya. Bagi peserta yang ingin ikut, sebaiknya jangan jadikan acara-acara tersebut sebagai “mata pencaharian”, jadikanlah sebagai hiburan. Tetap berusaha dan bekerja karena setiap hal itu perlu kerja keras. Lepaskan ketergantungan mendapatkan uang dari acara-acara tersebut. Bukan hanya karena tindakan “mempermalukan” yang dihadirkan, namun juga untuk mendidik masyarakat Indonesia sadar akan tayangan edukasi. Mungkin jika semakin banyak acara goyang muncul, 10 tahun ke depan angka kemiskinan di Indonesia akan menurun signifikan.

Referensi:
Baca SelengkapnyaLatah Kreativitas: Uang Instan dengan Goyang

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Malam Ahad Diko: Diplomasi Karya

               Becek, basah di mana-mana, bahkan di hati yang kering pun begitu. Sabtu sore jalan di depan rumah kecil yang kami anggap kantor ini juga sama, becek. Kucing kecil yang tampak sayu tatapannya hanya bisa mengeong kalem saat melompati genangan air. Sebenarnya kalau kita bisa menghayatinya, itu bukanlah becek, namun hanya kesejukan setelah gersang yang akan lama hilang.
            Hujan terkadang membawa semangat, terkadang juga membawa kesepian. Sore ini suasana kantor cukup sepi, bahkan sangat sepi. Aku yang ndilalahe[1] datang bersamaan dengan Rafi, hanya melihat Aska yang duduk di ruang utama.
                “Mana yang lain?” tanyaku kepada Aska.
            “Nggak tahu, nggak datang mungkin karena hujan,” jawabnya cepat.
            “Baca apa, As?” Rafi tampak penasaran dengan buku yang sedang Aska baca. Tampak di tangan Rafi juga ada buku. Seperti biasa, sketch book.
            “Cuma buku tentang perkembangan politik masa kekaisaran Jepang,” mata Aska tampak berbinar-binar. Mungkin dia merasa akhirnya ada orang yang mau mendengarkannya berbicara tentang perkembangan dunia.
           Aska, seorang yang ceplas-ceplos namun berwawasan luas. Sosoknya mampu membawa suasana setiap kali kami ngantor. Dari politik Asia-Pasifik hingga perkembangan pemerintahan Eropa serta Amerika-Afrika-Australia tidak ada yang dia lewatkan. Pengetahuannya tentang dunia internasional tidak perlu diragukan lagi. Mungkin ini menurun dari ayahnya yang merupakan seorang diplomat kondang.
              “Bro, ada yang tahu kunci kesuksesan Perjanjian Hudaibiyah?” tiba-tiba Kak Maro muncul dari ruang sebelah. Lagi-lagi dengan pertanyaannya.
                “Aha, aku tahu, kak!!!” seru Aska cepat. Ya, urusan perjanjian, isu dunia, juga teknik berbicara dia jagonya.
                “Cobo jelasno![2] Kak Maro tersenyum. Senyum yang sedikit aneh, lagi.
            “Kesuksesan Perjanjian Hudaibiyah terletak pada wakil kaum Muslimin dalam perjanjian itu. Ya, siapa lagi kalau bukan Rasulullah, seorang diplomat ulung. Walau sekilas perjanjian itu merugikan kaum Muslimin, namun dengan pemikiran mendalam dan kepintaran beliau serta izin Allah, perjanjian itu mendatangkan kemenangan besar bagi kaum Muslimin,” kata Aska panjang lebar.
                Seperti yang kita tahu, Perjanjian Hudaibiyah (6 H) mendatangkan kemenangan yang besar, salah satunya adalah terbukanya dakwah persebaran Islam sehingga banyak orang Arab akhirnya memeluk Islam. Ini merupakan bukti bahwa kecerdasan Rasulullah dalam berdiplomasi tidak dapat disangkal, tidak terlepas dari izin Allah.
                “Rasulullah mempunyai ketenangan dan kesabaran yang sangat tinggi. Tulisan dalam surat yang beliau kirimkan kepada Raja Najasyi sehingga memeluk Islam sangatlah menyentuh hati. Ini bukti ketenangan beliau dalam bertutur. Juga ketika diperlakukan tidak manusiawi oleh penduduk Thaif, beliau sangat bersabar dan menyerahkan segala urusan itu kepada Allah,” ujar Kak Maro berapi-api. “Itu adalah modal seorang diplomat.”
                “Terus gimana kita menerapkan prinsip diplomasi itu? Kita harus perang gitu?” tanyaku.
                “Yo kudu perang, gelut-gelut!”[3] kata Rafi disusul tawanya. Entah kenapa kita mengikutinya tertawa. Hahahaha……..
              “Sabar bro, diplomasi nggak harus perang. Kita bisa lakukan dengan kemampuan kita. Namun kuncinya adalah sabar, seperti Nabi Nuh yang sabar berdakwah selama lebih dari 900 tahun. Tapi kita nggak perlu 900 tahun juga. Emangnya bisa hidup selama itu?” Kak Maro membuat suasana sore itu pecah. Kami tertawa lagi.
                “Terus gimana maksudnya?” tanyaku lagi.
                “Teras-terus kayak tukang parkir aja. Hahaha……,” kata Kak Maro. “Diplomasi dilakukan dengan menyesuaikan medannya. Rasulullah berdiplomasi dalam peperangan karena musuh beliau saat itu nyata. Sedangkan sekarang, musuh kita masih abu-abu. Jadi kita harus hati-hati dalam berperang, jangan salah berdiplomasi. Nah, gimana kita berdiplomasi? Ya, dengan karya kita.”
             “Maksudnya?” Aska juga masih bingung. Aku lihat Rafi juga tampak bingung. Hahaha………aku juga sama.
                “Diplomasi karya. Kemampuan kita, terutama dalam bidang media, akan menghasilkan karya yang dapat kita gunakan sebagai alat diplomasi. Dengan karya, secara halus kita dapat mengajak musuh kita untuk kembali kepada jalan yang lurus, kepada kebenaran,” senyum Kak Maro mengembang lagi.
              “Bahasamu kak kayak main Age of Empire. Emang musuh kita siapa?” tanya Rafi sambil mengernyitkan dahi.
              “Sebenarnya banyak, tapi yang utama adalah dirimu sendiri,” jawab Kak Maro. Jawaban yang cukup sederhana.
               Diplomasi Karya, cara diplomasi yang dapat dilakukan dengan karya kita. Hidup di dunia ini adalah perjuangan menjadi yang terbaik. Dakwah kreatif adalah salah satu perjuangan itu, dengan karya tentunya. Tidak perlu memikirkan terlalu jauh keadaan apa yang ingin kita ubah, tapi lakukan apa yang kita mampu. Kalau kita mampu berdiplomasi dengan karya kita, kenapa tidak kita lakukan? Untuk mengalahkan musuh kita, ya diri kita sendiri.
                “Bro, udah Maghrib. Yang ngantor cuma kita berempat, gara-gara hujan nih,” kataku.
                “Diko, hujan itu berkah. Lihat, pelangi munculnya setelah hujan, kan?!” sahut Aska cepat.
                  “Iya, Bapak Diplomat!” kami pun tertawa bersama.
               Benar, hujan itu berkah dan anugerah. Pelangi akan muncul setelah hujan reda, seperti yang aku sering lihat di matanya.


[1]Kebetulan
[2]Coba jelaskan
[3]Ya harus perang, berkelahi-berkelahi
Baca SelengkapnyaMalam Ahad Diko: Diplomasi Karya

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Malam Ahad Diko: Pohon Takwa

                Seperti biasanya, Sabtu adalah jadwal untuk ngantor. Namun tak seperti biasanya, aku sangat terlambat datang. Di rumah kecil tempat biasa kami ngantor ini, telah duduk teman-temanku dengan kesibukannya masing-masing. Yuha, Pino, dan Halan masih coba untuk memeras otak demi tulisan mereka yang baru setengah. Aska seperti biasa, berceloteh ria tentang gejolak politik dunia. Rafi yang tampak suntuk sedang mencorat-coret sketchbook-nya. Di mana Kak Maro? Tumben nggak kelihatan.
                “Assalamualaykum…..,” ucapku sembari masuk.
            “Wa’alaykumussalam….. Kok terlambat?” jawab Rafi. Tangannya masih aktif mencorat-coret.
                “Maaf, tadi habis ngajari adik-adik di sekolah. Saking serunya, jadi lupa kalau harus ngantor. Hahaha…..,”
                “Kebiasaan ihh…..,” Yuha menimpali. Aku hanya bisa tertawa.
                Di ruang sebelah aku lihat Kak Maro sedang ngobrol dengan Kak Ovri dan Kak Bara. Mereka mungkin sedang berdiskusi tentang edisi berikut yang akan terbit, atau sekedar ngobrol nggak jelas yang biasa mereka lakukan. Tak lama, Kak Maro muncul ke ruang utama.
                “Ada yang hafal Surat Al Maa’idah ayat 35?” tanyanya.
                “Yah, lagi deh……,” seru Halan dan Pino hampir berbarengan.
              “Kebiasaan deh nongol langsung tanya-tanya,” wajah Yuha tampak ditekuk sebal, atau memang sudah seperti itu dari sananya?
                “Diko jawab tu, datang terakhir kan,” jawab Aska sambil tertawa. Oiya, dari tadi dia baru diam dari celotehannya. Super sekali…..
                “Sik-sik, tak bukakke Al Qur’an sik,[1] jawabku. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”
               “Nah itu, kita sekarang berkutat di media juga salah satu cara berjihad. Masing-masing dari kalian punya spesifikasi tersendiri. Kalau digabungin, pasti super hasilnya nanti,” urai Kak Maro panjang lebar.
                “Terus kalau masalah takwa?” tanya Rafi. Tangannya tetap tak lepas dari sketchbook-nya.
               “Takwa itu bisa dianggap seperti pohon, sedangkan buahnya adalah akhlak. Nah, kalau pohonnya dirawat dengan baik, pasti buahnya juga enak,” Kak Maro dengan sabarnya menjelaskan. Pantas kalau dijuluki sebagai topic starter di tiap forum yang ada.
               “Mungkin kalau dianalogikan itu kayak abdi dalem kraton ya?” tanya Aska.
                  “Nah, benar. Coba jelaskan, Aska!” pinta Kak Maro.
                “Abdi dalem itu kalau diperintah Sultan pasti langsung meng-iya-kan, nggak pernah membantah. Istilahnya “Sendiko dawuh”.[2] Kalau abdi dalem aja diperintah oleh manusia nggak membantah, masak kita yang diperintah oleh yang menciptakan manusia, yang notabene perintahnya pasti benar, kadang masih nolak, masih mencla-mencle.[3] Apa kata dunia?!” sama, Aska menjelaskannya panjang lebar. Lagi, dia berbicara tentang dunia.
             “Sekarang, sudah dapat gambarannya? Oke para penulis, itu brainstorming untuk tulisan kalian. Yang lain, kerjaan kalian masih banyak, segera selesaikan ya, edisi berikutnya segera terbit,” kata Kak Maro. Senyumnya mengembang.
            Semua kembali pada kesibukannya masing-masing, aku juga, menyelesaikan artikelku. Berjuang sungguh-sungguh untuk merawat pohon takwa yang kelak berbuah enak. Tiba-tiba pintu diketuk.
              “Wah, akhirnya Fani datang,” kataku spontan. Entah kenapa, wajah Yuha bersemu merah.


[1]Sebentar-sebentar, aku bukakan Al Qur’an dulu
[2]Iya, bersedia
[3]Plin-plan
Baca SelengkapnyaMalam Ahad Diko: Pohon Takwa

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Renungan

Teringat seorang teman pernah bilang, "Cinta itu nggak pernah salah. Kalau salah, berarti bukan cinta. Bisa aja nafsu, ambisi, atau apapun itu". Terlepas dari bener atau enggaknya kalimat tadi, saya jadi berpikir "What's wrong about my past? Apakah itu bukan cinta? Atau salah pilih orang?".

Masih dalam masa recovery. Saya berniat, berkomitmen pada diri saya sendiri:

Tutup hati dulu sekarang! Kunci dan gembok rapat-rapat. Buang kuncinya ke somewhere. Tunggu aja sampai ada orang yang menemukan kunci tadi, dan berusaha mencari gembok yang pas, yang masih nyantol di hati saya.

So many things yang bisa saya lakukan sambil nungguin orang yang bakal menemukan kunci tadi. Saya mau sukses dulu. Saya masih ada tanggung jawab sama orang tua dan dua adek saya. Jodoh pasti bertemu kok, kayak lagunya Afgan :)
Baca SelengkapnyaRenungan

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS