RSS

Sistem kadang berjalan apa adanya, kita tak pernah terpikir untuk mengubahnya. Sistem adalah sesuatu yang membantu, pembantu yang berkuasa. Dunia adalah sistem itu. Sejenak berpikir kritis, dunia yang kelam perlahan beranjak estetis.

2013: Pencapaian

             Dalam setiap pencapaian pasti ada usaha. Usaha yang menghadirkan rasa lelah. Setiap hal yang tercapai pasti ada rasa capai (lelah) sebagai efek sampingnya. Namun, selelah apapun itu jika merasa puas dengan pencapaian kita, rasa lelah akan sirna. Begitu juga berbagai pencapaianku selama tahun 2013. Mungkin ini bukan hal besar bagi yang membaca, namun sangat berarti bagiku, bagi pencapaian selanjutnya. Kira-kira inilah yang aku ingat selama tahun 2013.
                Awal tahun aku awali dengan introspeksi diri bersama beberapa temanku. Segala macam kekurangan dan kelebihan diri diungkapkan. Sebelum introspeksi, dibuat kesepakatan bahwa tidak ada yang boleh marah, namun pembelaan (penjelasan) masih diterima. Dari introspeksi bersama ini aku tahu bahwa ternyata aku lebih sering diam. Diam ketika ada masalah, diam ketika ada keramaian di sekitar, dan diam menyembunyikan apa yang dirasa. Namun, di sisi lain aku begitu mudah masuk ke dalam pembicaraan. Kata teman-temanku, aku humoris dan bisa membawa suasana. Begitukah?
                Di tahun ini ada sebuah pencapaian yang menurutku sangat bermakna, yaitu aku mulai kembali senang bersepeda. Setelah hampir 9 tahun vakum bersepeda secara rutin, tahun ini kegiatan bersepeda mulai aku lakukan rutin. Selain karena tidak adanya sarana (sepeda yang dulu telah gugur), keterbatasan waktu (sibuk kali ya….) juga menghalangi rutinitas bersepeda. Kini kalau tidak ada halangan, tiap Ahad aku isi dengan bersepeda. Entah cuma keliling kota Jogja, pergi agak jauh menantang alam, atau bikepacker ke kota lain. Track menanjak lereng gunung, dataran rendah pantai, blusukan lewat jalan desa, hingga perjalanan melintasi beberapa kota/kabupaten di DIY-Jateng sudah dijelajahi. Kenikmatan menatap alam dan lingkungan sekitar ketika bersepeda sudah lama aku inginkan. Betapa indahnya ciptaan Sang Pemilik Alam yang bisa dilihat dengan jelas ketika bersepeda. Selain sehat, kita juga dapat selalu mensyukuri semua yang ada di bumi.
                Kuliah Kerja Nyata (KKN) merupakan pencapaian besarku yang selanjutnya. Mengapa begitu? Dengan KKN aku dapat lebih dekat dengan masyarakat desa, lebih bersyukur terhadap hidup, dan lebih bermanfaat bagi sekitar. Banyak pelajaran hidup yang aku dapat sebelum, selama, dan setelah KKN. Sebelum KKN, kerja sama anggota kelompok dalam mempersiapkan segala keperluan sangat diuji. Namun dengan kesungguhan hati, semua dapat dilalui dengan lancar. Selama KKN aku mendapat hal yang lebih berharga. Tenggang rasa, kasih sayang, rela berkorban, dan semua hal baik dalam hidup aku dapatkan dari masyarakat desa tempat KKN. Setelah KKN selesai, penghargaan masyarakat di sana sangat aku rasakan. Mereka sangat peduli dan tidak akan melupakan kami. Sungguh indahnya hidup bersama masyarakat.
                Pencapaian yang berikutnya adalah intensitas menulisku mulai meningkat. Jumlah artikel aku tingkatkan sedikit demi sedikit. Walau mungkin kualitas tulisanku belum seberapa, aku yakin dan mau belajar untuk kualitas yang lebih baik. Kata orang, banyaklah menulis walau tidak ada yang peduli, yang penting menulis dan yakin tulisan kita akan mengguncang dunia. Aku bersyukur teman-temanku sangat setia memberi semangat ketika aku malas menulis. Di tahun yang baru nanti, target pencapaianku harus bertambah. Selain karena suka, aku juga ingin mengguncang dunia.
                Tiap pencapaian pasti ada rasa lelah. Lelah hati, fisik, waktu, mental, dan pikiran telah aku rasakan di tahun 2013. Namun aku puas dengan pencapaianku, aku suka dengan yang aku lakukan. Cukup dengan suka dan puas, rasa lelah dalam berusaha akan sirna. Puas untuk tahun 2013 bukan berarti pencapaian akan berhenti dan tak berlanjut di tahun 2014. Kini aku hanya sejenak berhenti di halte untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke tujuan selanjutnya. Walau lelah dan harus berkorban, pencapaian itu manis ketika kita menikmati prosesnya.
Baca Selengkapnya2013: Pencapaian

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Ring Ring Love, I Hear You

                Seperti angin yang berdesir di saat sepi, atau seperti guntur yang menggedor riuh sore. Suara yang terdengar menandakan mereka ada. Aku tahu tentang sesuatu dari kata orang. Aku mulai tahu eksistensi sesuatu dari kabar di sekitarku. Mulai dari telingaku.
                 Dari mana aku mulai mengenal cinta? Mulai dari suara. Aku mulai mengenalnya dari suara dan cerita. Hal sederhana yang aku dengar munculkan rasa tertentu di sendi-sendi hidupku. Ketika derap masa kecilku mulai terasa, perlahan aku mendengar eksistensi cinta. Perlahan, dering-dering itu terdengar.
                Kata mereka cinta itu indah. Kata mereka cinta itu penuh warna. Kata mereka cinta itu semangat. Kata mereka cinta itu mewah. Kata mereka cinta itu bahan bakar kehidupan. Kata mereka, kata mereka, kata mereka aku dengar.
                Saat beberapa suara mulai kudengar, aku mulai mencintai kedua pahlawanku, ayah dan ibu. Mereka yang tulus mengajarkan cinta, dari cinta diri sendiri hingga cinta kepada kehidupan. Cinta yang mereka beri melalui ucapan cinta mereka, lewat dongeng sebelum tidur, serta alunan simfoni nina bobok penuh sihir.
                Teringat masa kecilku penuh ambisi, ambisi menjadi yang terbaik juga ambisi menjadi yang terdepan. Nakal, setidaknya itu yang aku pikirkan tentang masa kecilku dulu. Ayah berjanji memberi hadiah jika aku juara kelas, dan aku mendapatkan juara itu. Namun aku tak tahu, lebih tepatnya tak mau tahu, saat itu ayah belum punya uang untuk membelikanku hadiah. Aku menangis, aku mengamuk, aku melempar barang yang aku pegang. Ayah dengan senyumnya hanya berkata, “Sabar ya, besok hadiahnya datang”. Aku yang belum paham akan cinta hanya menganggapnya kata-kata penghibur belaka. Kini, saat aku mengerti suara cinta, kata-kata ayah sangat penuh dengan cinta dan kesabaran.
                Ambisi menjadi terdepan yang dulu sering bawaku terjatuh. Sore hari yang terkadang aku isi dengan balapan sepeda. Tak hanya jatuh karena terpeleset, jempol kaki yang terjepit ruji roda juga jari tangan yang terjepit rantai pernah aku alami. Tangan, siku, lengan, kaki, hingga lutut penuh dengan bekas luka masa kecil. Namun ibu dengan kata-kata cinta penuh sihirnya selalu berkata, “Kali lain hati-hati ya”. Ucapan sederhana disertai sentuhan lembut tangannya.
                Dewasa mulai bawaku mendengar cinta lebih banyak. Dering-dering yang sayup aku dengar di sekitarku. Mereka bersahutan, mereka saling berinteraksi. Seperti induk kucing yang mengeong memanggil anaknya yang hobinya main. Perlahan waktu memaksaku mempertajam daya dengarku. Dering itu masih jauh di sana, masih terbawa sosok yang masih samar. Pelan waktu berubah deras, cinta itu kuyakin segera terdengar jelas.
                 Banyak orang berkata hidup ini penuh dengan keseimbangan. Keseimbangan yang bawa cinta hadir. Siang yang berkejaran dengan malam, putih yang kadang bermusuhan dengan hitam, serta kemarau yang sering terhapus hujan. Aku dengar perempuan adalah potongan tulang rusuk dari laki-laki yang menjadi jodohnya. Aku dengar itu adalah keseimbangan juga.
                   Aku mulai mengenal cinta dari suara. Cinta yang hakiki, cinta yang murni bagi seluruh alam, cinta dari Tuhan kepada umatnya. Cinta yang aku dengar lewat suara pelantun kalimat-kalimat Tuhan. Cinta yang bawaku semakin dekat kepada dering-dering cinta kehidupan. Dari suara aku mengenal cinta, dari suara aku mengerti cinta. Cinta kepada-Mu, hidup, dan duniaku selanjutnya.
Baca SelengkapnyaRing Ring Love, I Hear You

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Aku Tak Mengenal Cinta

               Pada awalnya aku buta akan hidup. Tak tahu harus melakukan apa untuk mengerti hidup. Pada dasarnya aku masih belajar hidup. Hidup yang terus kupelajari selama aku hidup. Pada awalnya aku mati rasa akan cinta di dunia ini. Aku tak mengenal cinta. Pada mulanya aku ikut apa kata orang. Cinta itu sengsara, cinta itu duka, cinta itu hanya kata semata. Namun aku tahu semua itu salah. Aku terpikir cara untuk mendalami cinta, sebisa otak kanan dan kiriku.
                Aku tak mengenal dunia. Mulai ketika aku lahir, saat gelap masih menaungiku. Aku tak tahu apa-apa, aku hanya tahu naluriku, meski aku sendiri tak paham akan naluri. Perlahan kedua orang tuaku mengenalkanku pada dunia. Dunia yang lembut, dunia yang sopan, dunia yang keras, dan dunia yang membuatku jatuh. Ibu yang mengenalkanku akan panasnya api dan dinginnya es serta ayah yang mengajariku akan kerasnya jatuh dan lembutnya kasih sayang. Mereka adalah duniaku, dunia yang membesarkan dunia sesungguhnya.
                Aku tak mengenal lingkungan. Kata orang, lingkunganku adalah apa yang ada pada diriku. Saat lingkunganku baik maka bisa disimpulkan bahwa diriku juga baik, begitu pula sebaliknya. Sejak kecil hingga sekarang aku masih coba mengenal lingkunganku yang selalu berubah. Berubah karena waktu, semakin berubah ketika aku masuk ke lingkunganmu. Sejenak terpikir cara untuk mengenal lingkunganmu.
                Aku tak mengenal teman-temanmu. Langkah awal yang aku mulai dengan perlahan. Teman-temanmu yang selalu ada untukmu, mereka yang selalu munculkan senyummu. Aku coba mengenal mereka, aku coba pahami mereka. Perlahan kulemparkan tanya tentangmu, tentang siapa dirimu. Perlahan kupaham akan dirimu, paham akan senyummu.
                Aku tak mengenal hobimu. Dari sudut pandang ini aku tak berani mendekat. Dari sisi ini aku hanya bisa melihat. Kau sibuk dengan hobimu, kau suka dengan hobimu. Aku coba melihatnya, kenali, dan pahami. Itu hobimu, aku coba ikutimu. Meski mungkin aku tak suka, namun aku coba suka dengan hobimu. Kucoba untuk lakukan sama denganmu dan bergembira bersama.
            Aku tak mengenal rumahmu. Istana sederhanamu dengan penghuni bersahaja. Ayah, ibu, dan saudara-saudaramu yang tak kukenal, mereka asing di mataku. Perlahan langkah mengayun, sejenak hati tertegun, apakah nada ini akan terus mengalun? Kucoba buka sapa kepada mereka, mereka menebar senyum. Nada yang kuinginkan pelan mengalun. Pelan namun setia iringiku mengenal penghuni rumahmu.
                Aku tak mengenal dirimu. Tak lebih dari nama dan rupa. Awal aku jumpa hingga gundah perlahan sirna, waktu mulai bawaku mengenalmu. Hampir semua tentang dirimu, teman-temanmu, hobimu, penghuni rumahmu, hingga apa yang kau tahu tentangku. Aku yakin kita akan saling mengenal lebih dalam.
              Aku tak mengenal cinta. Aku buta akan cinta. Kini saat kuberanjak mengerti, aku melihat dan berkenalan dengan cinta. Cinta yang sebenarnya abstrak, namun coba kuurai menjadi nyata, senyata sosokmu. Aku bisu akan cinta. Kini saat kuberanjak mengerti, aku mendengar dan tak ragu ucapkan cinta. Cinta yang dulunya aku ragu, kini aku yakin sekeras batu. Aku mengenal cinta, lewat dirimu, orang tuaku, lingkunganku, dan hidupku. Cinta yang hakiki, cinta murni kepada Sang Pencipta Cinta.
Baca SelengkapnyaAku Tak Mengenal Cinta

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Ketika Pilihanku Ternyata Mengecewakanku

            Sudah sejak lama aku memegang dengan teguh kalimat ini, “Kalau kau rapuh, kalau hatimu terluka dan bersedih, kalau kau merasa tak bisa apa-apa sehingga tak ada suara yang bisa diucap atau langkah yang bisa diayun, maka tuliskanlah!”. Sudah sejak lama, aku pun lupa dari mana mendapatkannya. Sudah sejak lama, bahkan aku lupa hingga seorang teman mengingatkanku. “Tuliskan”, sebuah kata yang sejenak membuat hati dan otakku terpaku. Aku harus kembali menulis, meski hati merasa kecewa.
           Ketika pilihanmu ternyata mengecewakanmu, apa yang akan kau lakukan? Beberapa orang akan melakukan hal yang bisa menghiburnya, seperti menyanyi atau nonton film. Beberapa yang lain akan mencoba untuk menerima dan tak akan menyesali apa yang terjadi, berharap bisa menjadi pelajaran. Sedangkan tak sedikit yang akan segera beralih ke rencana lain, masih banyak pilihan yang bisa dipilih. Namun, apakah pilihan yang lain tidak akan mengecewakanmu?
             Pada pandangan pertama ketika aku menjatuhkan pilihan padanya, aku rasakan kecewa itu. Dia ternyata tak ubahnya seperti yang lain, dia tak istimewa. Namun apa daya pilihan yang lain pun tak lebih istimewa. Seperti melihat barang dagangan yang sangat kau dambakan di etalase. Perlahan kau melihatnya dari dekat dan sadar adanya goresan di sana yang mengurangi keelokannya. Namun apa daya hati ini telah sedikit terpaksa tertambat, meski rasa kecewa itu ingin meluap.
           Ingin marah, ingin semua tahu rasa kecewaku, ingin dunia melihatku meski sejenak. Mungkinkah? Aku rasa itu mustahil. Sekitarku, bahkan dunia, mereka lebih mementingkan apa kata kelompok daripada apa yang tertulis. Mereka melihat, mereka mendengar, bahkan mereka sebenarnya paham. Namun yang aku rasa, saat mereka sadar, mereka akan kalah dengan telak. Bahkan mereka yang menuliskan itu di dalam lembaran kertas akan mengakui kekalahannya.
                Aku tak ingin sombong, aku hanya kecil, aku bukan Tuhan. Namun di sini aku coba meneruskan perjuangan tangan kanan Tuhan untuk meluruskan mana yang benar. Itu tertulis, seandainya mereka paham. Kalimat-kalimat dari Tuhan yang tertulis, banyak tafsir yang menjelaskan dengan jelas. Kalimat-kalimat yang mereka buat sendiri, mengapa justru mereka tak paham? Mereka tak mampu menafsirkan kalimat mereka sendiri?
                Ketika pilihanmu ternyata mengecewakanmu, apa yang akan kau lakukan? Aku akan lebih memilih menuliskannya. Beberapa lingkaran kecil adalah penguatku di kala rapuh. Mereka ada dan sependapat denganku. Aku dan mereka, lingkaran kecil di sana, lebih suka menuliskan apa yang dirasa. Apa yang tertulis akan abadi, apa yang tertulis akan dikenang, meski hati merasa kecewa.
                Baiklah, semua telah terjadi dan berlalu. Mungkin kini aku kecewa, tapi esok atau tahun depan aku harap senyumku bisa menunjukkan bahwa sekitar, bahkan mungkin dunia, lebih paham apa yang mereka tulis dan lakukan. Aku tetap ada untuk mereka, aku tak ingin menjauh. Aku ada karena mereka, begitu juga tulisanku ini ada karena mereka. Ketika pilihanku ternyata mengecewakanku, apa yang akan aku lakukan? Aku akan menuliskannya.
Baca SelengkapnyaKetika Pilihanku Ternyata Mengecewakanku

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Apa Kau Tak Merasakannya?

               Pada dasarnya kita sama. Apa kau tak merasakannya? Sifat yang selama ini kita tunjukkan mempunyai persamaan. Apa kau tak merasakannya? Persamaan di dalam langkah kita yang kerap diwarnai adu argumen. Apa kau tak merasakannya? Kita yang sering tak sependapat dengan apa yang saling kita ucapkan. Apa kau tak merasakannya?
                Pada dasarnya kita sama. Aku pun sebelumnya tak menyadari, namun seiring waktu berlalu aku mulai tahu, sifat kita sama. Meski tak seutuhnya sama, hampir sama lebih tepatnya. Ini yang terkadang membuat kita berbeda pendapat karena pikiran kita ternyata sangat luas. Hal ini yang kerap membawa kita kepada keadaan paling diam, keadaan saling mendiamkan. Mungkin karena ego kita yang cukup tinggi. Hal ini pula yang sering hadirkan salah paham di antara kita. Mungkinkah ini karena kita lebih banyak diam tanpa berkata?
                Apa kau tak merasakannya? Kata orang, sahabat itu ada kala suka dan duka. Kalimat ini tak sepenuhnya salah karena kita masih sering berbagi. Apa kau tak merasakannya? Kata orang, sahabat itu saling melengkapi. Kalimat ini pun tak sepenuhnya salah karena kita masih sering untuk saling mendengar. Namun kalimat ini akan terasa salah karena sifat kita yang hampir sama. Setidaknya untuk permulaan hubungan kita.
                Beberapa sifat yang aku rasa hampir sama denganmu. Pertama, ego yang cukup tinggi. Masing-masing dari kita cukup sering untuk bertahan dengan hal yang menurut kita benar, meski dalam pandangan orang lain hal tersebut belum tentu benar. Dalam hal yang lain, aku lebih suka menyebut sifat kita ini sebagai “introvert”. Kenapa? Karena kita lebih nyaman untuk bercerita kepada orang-orang tertentu saja. Yang kedua, lebih suka untuk merasakan. Aku mulai tahu ini, aku mulai merasakannya. Kita lebih suka merasakan hal yang kita alami daripada bercerita tentang apa yang terjadi. Pada akhirnya kita hanya bisa menuliskannya.
                Berikutnya, kita sama-sama ingin menerima perhatian. Aku pun sadar akan hal itu, aku pun ingin menerima itu. Namun yang membuat ini sedikit “kacau” adalah hal sedikit ini kita gabung menjadi sesuatu yang sedikit lebih besar. Keempat, kita masih bertanya tentang arti “sahabat”. Atau mungkin kita belum menerima kata “sahabat”?
                Pada dasarnya kita sama. Persamaan ini yang kadang munculkan sebuah perlawanan. Seperti dua magnet yang mempunyai kutub yang sama, pasti akan saling bertolakan dan berlawanan. Mungkin seperti inilah kita, masih berkutat dengan arti kata “sahabat”. Pelan tapi pasti, waktu itu akan tiba dimana kita akan saling mengerti sifat masing-masing. Mungkin lebih lama dari waktu yang diperlukan sahabat Rasulullah untuk memahami si ahli surga. Mungkin juga akan perlu waktu seumur hidup.
            Pada dasarnya sifat kita sama. Apa kau tak merasakannya? Unik memang. Tak hanya perbedaan yang membuat kita saling mengerti, namun semoga persamaan kita ini juga akan membuat kita saling mengerti. Mungkin tidak untuk sekarang, mungkin juga tidak untuk waktu dekat ini, atau mungkin juga untuk waktu yang lama. Apa kau tak merasakannya? Apa karena golongan darah kita yang tak cocok? Apapun itu, semoga kita dapat merasakannya.
Baca SelengkapnyaApa Kau Tak Merasakannya?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Semarang Vacation

Setelah sekian lama ATIT (Anak Touring IT) tidak melakukan touring, akhirnya Sabtu, 7 Desember 2013 ATIT melakukan trip ke Semarang. Dengan 5 orang personil (Tipeh, Tontun, Marin, Rizki, dan Fai) dan dengan 3 motor (P180, Revo, Jupiter MX). Start dari Jogja pukul 08.00.

Rute yang kami lewati adalah Jogja – Magelang – Secang – Ambarawa – Semarang. First check-in ada di pertengahan antara Secang-Ambarawa (nggak tahu namanya), kami berhenti di sebuah mini market untuk beli minuman. Kami juga melakukan pertukaran formasi, karena Marin ngrasa mual diboncengin Rizki. Sehingga formasi menjadi Marin-Tontun, Rizki-Tipeh, dan Fai sebagai single fighter. Kemudian kami melanjutkan perjalanan kembali.

Sampailah kami di second check-in yaitu di warung sate fenomenal, RM Sate Pak Kempleng 1 yang terdapat di Ungaran. Tiba disana sekitar pukul 10.15. Karena mempertimbangkan harganya (1 porsi = 10 tusuk = Rp 38.000), maka kami hanya memesan 15 tusuk untuk 5 orang. Rasanya tetap mantap seperti dulu. Bumbu kacangnya lebih mirip bumbu pecel. Ditambah irisan bawang merah dan cabe rawit hijau lebih mantap.





Setelah kenyang dan puas, kami melanjutkan perjalanan ke Semarang. Semarang lumayan macet di siang itu. Kami berpisah dengan Fai di Undip, karena dia ada keperluan disana. Tujuan pertama adalah Lawang Sewu. Berbekal maps, akhirnya kami berhasil sampai di Lawang Sewu sekitar pukul 12.00.

Biaya masuk di Lawang Sewu untuk dewasa Rp 10.000, jika ingin memakai jasa guide ditambahkan biaya Rp 30.000. Karena kami ingin masuk ke bagian bawah tanah, maka kami memutuskan untuk menggunakan jasa guide. Mendengarkan banyak penjelasan dari bapak guide, bahwa dulunya Lawang Sewu ini adalah kantor pemerintah Belanda (CMIIW). Antar ruang dipisahkan oleh semacam pintu, dan kalau dilihat dari jauh akan seperti pintu-ception. Sebenarnya jumlah pintunya nggak sampe seribu (sewu), kata "sewu" hanya untuk kiasan aja karena pintunya ada banyak banget.





Nah, saat yang ditunggu-tunggu adalah masuk ke ruang bawah tanah. Ternyata untuk masuk ruang bawah tanah dikenakan biaya tambahan lagi @ Rp 10.000. Dengan biaya tersebut kita mendapat fasilitas sepatu boot dan senter. Kenapa pakai sepatu boot? Karena lantai dasarnya becek. Bapak guide bilang, “airnya setinggi leher, tapi leher kodok” (-____-")

Masuklah kami ke ruang bawah tanah. Ada beberapa lampu yang dipasang di beberapa titik. Dulunya ruang bawah tanah ini sering dipakai untuk penjara. Satu ruang penjara untuk 3-4 orang, mereka dibiarkan disitu dengan hanya sedikit ventilasi udara. Ada pintu yang menuju langsung ke sungai digunakan untuk membuang tawanan yang sudah mati.

Setelah mengakhiri sesi guiding dan berpisah dengan bapak guide, kami masuk lagi untuk melakukan sesi narsis (sayangnya nggak bawa tongsis, LOL). Disana ada juga beberapa miniatur kereta, karena dulunya di sekitar situ ada jalur kereta api.








Beberapa dari kami sudah lapar lagi, akhirnya searching kuliner khas Semarang. Kemudian kami menentukan tujuan ke Lumpia Gang Lombok. Berbekal maps lagi, kami berputar-putar melawan kemacetan, dan sampailah kami di daerah Pecinan (dekat Pasar Kranggan kalau nggak salah). Di dekat warung lumpia, ada klenteng. Dan menariknya di depan klenteng terdapat sebuah kapal besar. Nggak tau sih kapalnya buat apa, atau emang ada kapal terdampar beneran ya (?) Oiya, lumpia kering dan basah harganya @ Rp 12.000, udah dapet air putih. Isinya rebung sama telur. Temen makan lumpianya adalah seperti gel kenyal (nggak tahu terbuat dari apa) dan acar. Tersedia juga cabe rawit dan daun bawang.


Sudah puas jalan-jalan di Semarang, kami memutuskan untuk pulang. Kami janjian bertemu dengan Fai di sebuah mini market searah jalan pulang. Sedikit kesulitan menemukan jalan utama pulang, tetapi berbekal tanya ke orang akhirnya bertemu-lah kami dengan Fai. Setelah solat ashar dan isi bensin kami pulang ke Jogja. Unfortunately, mulai turun hujan dan macet, benar-benar macet. Saking macetnya, sampai sering kami lewat di tengah-tengah antara jalur yang berlawanan. Karena hujan semakin deras, kami memutuskan memakai jas hujan.


Fail Moment...


Fai dan Tontun-Marin sudah duluan di depan, dan saya-Rizki tertinggal. Tiba-tiba saya melihat gerbang bertuliskan “Selamat datang di Salatiga”. Wait, kita tadi berangkat nggak lewat Salatiga, dalam hati bilang gitu. Akhirnya saya bilang ke Rizki dan memutuskan untuk berhenti. Panik, secara kita terpisah dari rombongan. Nyoba telepon yang lain tapi nggak ada yang angkat. Akhirnya kembali lagi liat maps, dan benar kami salah jalan. Kami NYASAR. Kami memutuskan untuk putar balik dan mencari jalan yang benar. Selama itu saya terus mantengin maps sambil masih nyoba telpon yang lain. Dan akhirnya saya berhasil nelpon Marin. Jengjeng dan ternyata mereka nyasar lebih jauh sudah sampai Salatiga kota. Ini touring ter-fail karena nyasarnya parah dan bisa-bisanya lupa jalan pulang, hahaha. Saya dan Rizki menunggu rombongan, dan setelah semuanya kumpul kami melanjutkan perjalanan.

Dari Ambarawa – Secang macetnya parah abis. Jalannya sempit, ditambah lagi banyak truk dan bus. Kalau ada truk yang jalannya pelan, otomatis yang di belakangnya ikut melambat. Beneran lumpuh total itu, nggak bisa jalan. Untung pake motor, jadi bisa nyelip kanan kiri. Dan si Rizki seringnya milih jalur kanan (lewat diantara dua jalur berlawanan). Berhubung naik P180, dengan body-nya yang gede, sedikit menyulitkan kami. Sampai akhirnya Rizki stak di tengah antara truk dan mobil. Rizki nekat maju, kaca spion mobil orang dilipet seenaknya, dan setelah lewat, spionnya dibalikin lagi (nggak punya dosa ini anak). Fai yang berada di belakang kami persis, liat mbak pengendara mobilnya, dan katanya mbaknya cuma ketawa. Setelah dengan sabar melewati kemacetan, sampai di kota Magelang arus sudah lancar, menuju ke Jogja sudah lancar dan tiba di Pandega kira-kira pukul 21.00.

Kalau ditotal perjalanan pulang memakan waktu 4 jam. Dari Semarang pukul 17.00. Pake acara nyasar 1 jam. Pukul 19.00 baru nemu jalan pulang yang bener. Ditambah macet parah dan hujan non-stop sepanjang jalan pulang. Well, touring ter-fail sebenarnya, hahaha. Tapi semua terbayar karena berhasil sampe Semarang (achievement baru buat saya) dan waktu di Magelang bisa gas pol. ^^

Baca SelengkapnyaSemarang Vacation

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS