RSS

Sistem kadang berjalan apa adanya, kita tak pernah terpikir untuk mengubahnya. Sistem adalah sesuatu yang membantu, pembantu yang berkuasa. Dunia adalah sistem itu. Sejenak berpikir kritis, dunia yang kelam perlahan beranjak estetis.

Asu, Bukan Salah Anjing

Mungkin bagi beberapa orang judul tulisan ini cukup dianggap kasar atau kotor. Mungkin bagi beberapa orang juga tulisan ini akan membuat diri tak nyaman untuk membacanya, atau juga mengucapkannya. Maaf jika ada pihak yang merasa tersinggung atau marah atau tidak suka dengan tulisan ini. Sungguh, tulisan ini hanya sebagai informasi yang mungkin pantas untuk dibagikan. Jangan anggap kotor atau kasar kata asu karena itu bukan salah anjing.
Kata pada dasarnya tidak punya arti. Bahkan kata sendiri pada awalnya tak pernah ada. Kata-kata yang kita kenal sekarang ini muncul dan mempunyai arti karena adanya serapan dari bahasa lain, pengaruh lingkungan, pengalaman hidup, dan/atau konvensi (peraturan tak tertulis) yang disetujui bersama. Adanya pengaruh lingkungan dan pengalaman hidup dalam munculnya kata pernah diulas di majalah Bobo terbitan awal tahun 2000an. Di sana disebutkan bahwa ada beberapa kata seperti “Bow-Bow” (lupa artinya) yang terinspirasi dari suara angin (kalau tidak salah ingat). Kata tersebut seiring berkembangnya peradaban mulai tergantikan dengan kata-kata lain. Jadi terkadang sebuah kata muncul tanpa adanya pemikiran mendalam tentang kata itu.
Di Indonesia, kata-kata yang kita gunakan dalam Bahasa Indonesia sekarang sebagian besar merupakan serapan dari bahasa lain[1], seperti Bahasa Melayu (Austronesia), Sansekerta, Inggris, Belanda, dan Arab. Kata-kata serapan ini kemudian diolah sesuai Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) supaya mudah ditulis dan dibaca orang Indonesia. Selain serapan, banyak kata yang muncul sebagai hasil konvensi yang disetujui bersama. Sebagai contoh “Prikitiiiiew”. Walau tak tahu persis apa arti kata tersebut, kita sepakat tahu kapan kata tersebut bisa digunakan.
Seorang budayawan kondang, Sudjiwotedjo, dalam twit lamanya pernah berujar bahwa kata, terutama kata kasar atau kotor, akan berbeda arti dan penggunaan tergantung tempatnya. Beliau memberikan contoh kata “Jancuk”[2]. Di Jawa Timur, kata ini sudah dianggap biasa diucapkan dalam pergaulan. Berbeda jika ada orang mengatakan kata ini di Jogja, bisa dianggap kurang ajar. Ada juga kata “Ndlogok” yang berkonotasi kasar bagi orang Solo dan sekitarnya. Padahal berdasar pengalaman, di Jogja kata tersebut berarti orang yang pembicaraannya tak terarah atau tujuannya kurang jelas.
Selain tempat, waktu dan keadaan juga berpengaruh terhadap berbedanya arti sebuah kata, contohnya kata “Jancuk” tadi. Konon kata tersebut merupakan kata pembawa semangat saat masa perjuangan melawan penjajah dulu[3]. “Jancuk” pun kalau diucapkan saat tegur sapa kepada teman justru akan membawa keakraban (bagi arek Jatim lho). Tapi saat marah jangan coba-coba mengucapkannya, akan parah akhirnya. Ada juga kata “Asu” atau “Segawon”. Kalau kita mengucapkannya ketika membacakan kalimat, pasti akan biasa saja. Berbeda ketika diucapkan dengan nada tinggi. Coba baca “Anjing kecil itu sering dipanggil ‘Asu’”, kemudian bandingkan dengan “Dasar kamu, ‘ASU’!”. Akan sangat terasa bedanya jika diucapkan dengan nada yang benar, yang pertama biasa saja sedangkan yang kedua terkesan kasar.
Kata-kata kasar atau kotor yang banyak beredar di sekitar kita pada dasarnya tidaklah kasar atau kotor. Kata-kata tersebut digunakan sebagai kata pelengkap makian juga karena pengaruh manusia sendiri. Manusia yang menganggapnya kasar atau kotor dari dulu hingga sekarang. Padahal kenyataannya beberapa kata mempunyai arti awal yang baik, seperti “Bajingan” dan “Sontoloyo”[4]. “Bajingan” adalah sebutan untuk pengendara gerobak (pedati) yang ditarik oleh lembu/sapi. Sedangkan “Sontoloyo” adalah sebutan untuk penggembala bebek. Seiring berjalannya waktu, kedua kata ini berubah arti dan fungsi menjadi kata kotor yang biasa digunakan dalam makian.
Kata kasar atau kotor sebenarnya tak punya arti apa-apa. Hanya saja adanya persepsi yang sama dari beberapa orang tentang kata tersebut, menghasilkan sebuah konvensi bahwa kata tersebut kasar atau kotor. Kita sebagai manusia yang bisa berpikir tak sepantasnya menggolongkan sebuah kata masuk ke dalam golongan kata kasar hanya karena persepsi pribadi. Kita harus mempertimbangkan bagaimana, kapan, kepada siapa, dan di mana kata tersebut digunakan.
Era modern ini komunikasi sudah berkembang sangat pesat. Namun, justru semakin banyak orang yang kurang cakap dalam berkomunikasi. Banyak orang yang salah paham karena persepsi pribadi yang salah tentang apa yang didengar dan dibaca. Masyarakat kita lebih suka menangkap apa yang diucap daripada yang dimaksud. Cerna lagi apa yang didengar atau dibaca. Terkadang yang diinginkan sumber berbeda dengan yang ditangkap penerima, terutama dalam hal kata yang dianggap kasar atau kotor. Tak selamanya kata kasar atau kotor berarti buruk, terkadang justru baik tergantung keadaan. Jadi, cek lagi kebenaran yang kita terima. Jangan salahkan asu karena itu bukan salah anjing. Coba dari dulu kata “Apel” dianggap kasar dan kotor, pasti sekarang banyak orang misuh[5] dan memaki dengan kata “Apel”. “Dasar kamu, ‘Apel’!".

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

2 comments:

SUNAN said...

grattttzzzz

Unknown said...

Thanks :)

Post a Comment