RSS

Sistem kadang berjalan apa adanya, kita tak pernah terpikir untuk mengubahnya. Sistem adalah sesuatu yang membantu, pembantu yang berkuasa. Dunia adalah sistem itu. Sejenak berpikir kritis, dunia yang kelam perlahan beranjak estetis.

Sahabat, Aku Bangga Padamu

© suryarahadianto.wordpress.com
Suatu kali kutuliskan kisahmu dalam sebuah cerpen. Kisah hidup yang sederhana, tapi begitu menyentuh dan bermakna. Pernah juga kujadikan prinsip-prinsip hidupmu sebagai bahan perbincanganku dengan adik angkatan di kampus. Prinsip hidup yang mungkin sama dengan beberapa orang. Tapi, ada rasa yang begitu “jleb” ketika kau yang mengatakannya. Beberapa kali juga, aku menjadikanmu contoh betapa hebatnya kuasa Allah. Jatuh-bangun kaulalui,  tapi tak sekalipun kaumenggugat Sang Pencipta. Teman, aku bangga untuk menceritakan kehebatanmu. Teman, kuharap kau tak keberatan kisahmu kubagi dengan dunia.
“Teman” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti orang yang menjadi pelengkap atau orang yang melakukan sesuatu bersama-sama[1]. Aku lupa kapan tepatnya kita bertemu pertama kali. Yang pasti sejak saat itu, aku mulai mengenalmu, bahkan lebih dari aku mengenal diriku sendiri. Kelebihan dan kekurangan diri tak ragu untuk kita bagi. Ya, itu karena kita yakin, kita ada untuk saling menguatkan. Kita akan saling melengkapi. Kelemahanku dengan kelebihanmu, begitu juga sebaliknya.
Waktu pun terus berlalu, suka-duka kita bagi tanpa ragu. Mulai dari pengalaman manis saat kita juara lomba penelitian, hingga yang paling pahit saat kita adu argumen tanpa saling mengalah. Seingatku, tiga hari kita tak saling sapa. Ah, mungkin sejak itu aku mulai memanggilmu sahabat. Ya, karena sahabat selalu ada ketika kita sedang senang, bahkan saat sedih, sahabat akan datang tanpa diundang. Berkali-kali kautahu kalutnya hatiku. Entah dari mana, padahal wajahku tak pernah menunjukkan itu.
Sendiri membuat manusia lebih banyak mengeluarkan hormon stress, meningkatkan resiko bunuh diri, dan mengurangi kualitas tidur (Inspire’s Minimagz #25)[2]. Karena itulah, aku sangat bersyukur Allah telah menghadirkanmu sebagai sahabat. Lewat canda-tawamu, sejenak aku dapat melupakan gundah. Lewat kehangatan kata-katamu, kaubimbing aku bangkit. Walau aku tahu, terkadang hatimu lebih berduka daripada hatiku.
Kini, kita telah beranjak dewasa. Kita telah punya jalan masing-masing untuk menggapai cita-cita. Mungkin tak lama lagi, kita akan saling mengucap “selamat jalan”. Mungkin tak lama lagi, kau akan berjumpa teman baru. Apapun masa depan kita nanti, aku tetap bersyukur telah berjumpa sahabat sepertimu. Apapun yang terjadi nanti, kita ada untuk saling menguatkan. Ya, itulah sahabat.
Banyak kisah yang telah kita lalui. Tapi hingga sekarang, entah kenapa aku masih cukup malu untuk mengatakannya, mengatakan kalimat “Sahabat, aku bangga padamu”. Atau mungkin aku terlalu angkuh? Yang pasti untuk sekarang, aku hanya bisa berbagi kehebatanmu kepada dunia. Aku suka ketika orang lain bersemangat setelah kuceritakan kisah hidupmu. Aku bahagia ketika prinsip hidupmu menginspirasi orang lain. Kuceritakan kehebatan dirimu karena aku bangga padamu. Sahabat, terima kasih untuk pelajaran hidup yang kaubagi. Kelak akan kukatakan kepadamu, “Sahabat, aku bangga padamu”. Kelak sebelum waktu memisahkan kita.

Referensi:
[1] Teman
[2] Firstly Friendstastic
Baca SelengkapnyaSahabat, Aku Bangga Padamu

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Karya, Doa, dan Cinta

© bibeh.com
Beberapa hari yang lalu, aku terlibat sebuah perbincangan tentang rasa suka terhadap perempuan. Teman-temanku, yang pada dasarnya sudah aneh, ternyata mempunyai pengalaman unik ketika masih menjadi pelajar SMA. Pengalaman ini berkisar tentang bagaimana mereka mengekspresikan rasa suka terhadap seorang teman perempuan. Ada yang membacakan puisi karangan sendiri di depan kelas ketika pelajaran Bahasa Indonesia. Ada juga yang hanya berani melihat dari jauh sosok yang disukai. Pun ada juga yang ternyata menyimpannya di dalam hati dan baru terbongkar setelah lulus SMA. Selain uniknya cara, yang lebih unik adalah perempuan yang disukai itu tidak tahu jika disukai. Ternyata laki-laki pintar menyimpan perasaan, atau perempuan yang tidak peka? Ah, apapun itu.
Rasa suka, atau yang lebih tinggi tingkatannya disebut cinta, adalah sebuah hal yang alamiah lahir dari diri manusia. Tak ada seorang pun yang dapat menolak hadirnya perasaan suka, karena pada dasarnya laki-laki dan perempuan diciptakan “tarik-menarik”. Yang dapat dilakukan hanyalah menahan rasa suka itu supaya tidak semakin membesar di luar kendali.
“Aku suka sama kamu” adalah kalimat yang sudah lazim terdengar di keseharian kita. Laki-laki mengatakannya kepada teman perempuan, atau juga sebaliknya. “Mau jadi pacarku?” adalah kalimat berikutnya yang dikatakan setelah si lawan bicara menjawab “Aku juga suka sama kamu”. Uhh, gemes pengen tempeleng mereka. Apalagi kalau yang berkata seperti itu anak SD.
Suka, bilang “cinta”, pacaran, kemudian putus, adalah adegan yang umum terlihat di FTV. Eh, di kehidupan nyata juga ada. Bahkan ada yang pagi jadian, sore sudah berakhir dengan mulus. Short time date, huh? Siapa yang salah dengan ini semua? Ah, yalah yalah, tidak perlu saling menyalahkan.
Teringat sebuah kisah cinta super romantis yang pernah ada di dunia, sepasang suami-istri penuh keberkahan, Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra binti Muhammad[1]. Dikisahkan bahwa suatu hari setelah mereka menikah, Fatimah berkata kepada Ali.
“Maafkan aku. Sebelum menikah denganmu, aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda.”
“Kalau begitu, mengapa engkau mau menikah denganku? Dan, siapakah pemuda itu?” tanya Ali terkejut.
Sambil tersenyum, Fatimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah dirimu.”
Dikisahkan kemudian bahwa Ali juga mempunyai perasaan yang sama, bahkan mereka telah saling jatuh cinta sedari kecil tanpa seorang pun dari mereka yang mengatakannya. Cinta dalam diam memang indah pada akhirnya, jika cinta hanya dikatakan lewat doa.
Suka maupun cinta memang baiknya dijaga sebaik mungkin hingga waktunya tepat. Ini semata untuk menjaga perasaan masing-masing. Banyak kasus bunuh diri karena cinta yang ditolak, atau yang lebih ngeri adalah menyiksa diri karena putus dari pacar. Hue, kok ngeri ya........ Tapi, kapan waktu yang tepat untuk menyatakan cinta? Seperti Ali dan Fatimah, saat diri telah siap untuk membangun sebuah keluarga. Namun jika belum siap, terus bagaimana? Sekali lagi, dijaga hatinya, dijaga rasa sukanya, dijaga cintanya. Sampaikan perasaan kita lewat doa. Biarkan Allah yang menyampaikan perasaan itu kepada hati yang tepat.
Jika mengingat kembali perbincangan dengan teman-temanku tadi, rasa suka mereka masih dalam keadaan wajar. Mengekspresikan rasa suka sesuai kemampuan dan potensi dirinya, melalui puisi, cerpen, gambar, atau apapun itu. Nah, mungkin untuk sekarang, mari kita maksimalkan potensi kita. Hasilkan karya terlebih dulu. Dan yakinlah, pada akhirnya, si dia akan tersenyum ketika kita datang dengan karya-karya sukses kita, ketika kita menemui orangtuanya.

Referensi:
[1] Kisah Cinta Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra
Baca SelengkapnyaKarya, Doa, dan Cinta

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Aku Tidak Akan Membuatmu Kecewa

© teropongbisnis.com
“Untuk satu tahun ke depan, kami percaya, kamu bisa mimpin temen-temen di media,” kata kakak-kakak senior di kampus waktu itu.

Menjadi kepala Departemen Media dan Jurnalistik bukanlah keinginanku, bahkan terpikir pun tidak. Kali pertama terjun di organisasi, aku tak ada keinginan untuk bergabung di departemen media. Aku pikir, media itu useless, isinya cari berita, nulis, nge-layout, nggak jelas gitu. Tapi Allah berkehendak lain. Melalui seorang kakak senior, Allah menentukan aku masuk departemen media.
“Setelah melihat kemampuan, bakat, serta potensi, sepertinya adek cocok masuk departemen media” adalah kalimat yang akan selalu aku ingat. “Ah, cuma basa-basi aja”, pikirku saat itu. Tapi setelah mulai merasakan atmosfer departemen media, aku akhirnya sadar. Aku rasa ini yang selama ini aku cari. Ke-nggak jelas-an diskusi tapi bermakna, pikiran kreativitas tanpa batas, serta open minded-nya teman-teman di departemen media, telah memaksaku “jatuh hati” di jalan media.
Well, setelah setahun masa “penjajakan” dengan media, akhirnya aku dipercaya memimpin teman-teman di media. Sebenarnya aku keberatan. Apalah aku ini, hanya seorang mahasiswa yang sering disebut “aneh”. Aku keberatan, aku takut mereka nanti tertular “aneh”. Kalau sudah begitu, aku kan yang salah. Hikz.... Tapi, kenapa kakak-kakak senior percaya aku bisa memimpin departemen media? Apakah karena aku memang bisa? Atau karena sudah tak ada orang lagi yang pantas?
“Kepercayaan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti harapan dan keyakinan akan kemampuan seseorang atau sesuatu[1]. “Kepercayaan” sangat mahal harganya, bahkan tidak dapat dibeli dengan uang sekalipun. “Kepercayaan” hanya bisa didapat apabila kita sukses melakukan amanah-amanah yang diberikan (Inspire’s Minimagz #29)[2], atau istilah kerennya Integritas. Betapa susahnya untuk mendapatkan kepercayaan dari orang lain, bahkan banyak tokoh-tokoh nasional yang harus berkorban sebelum dirinya mendapat kepercayaan.
Tersebutlah seorang Panglima Besar Jenderal Soedirman. Beliau yang sangat lekat dengan “Perang Gerilya”nya, telah membuktikan bahwa para petinggi negeri saat itu tidak salah memberi kepercayaan kepadanya. Setelah memimpin prajurit perang di daerah, Soedirman memilih jalan gerilya untuk berperang. Bung Karno menolak ikut. Namun, Soedirman dengan tubuh ringkih menahan sakit paru-paru, tetap bersikukuh melancarkan gerilya. Beliau tidak peduli dengan sakitnya. Ini semata untuk membakar semangat dirinya, juga semangat para prajurit[3].
“Kalau Panglima Tertinggi tidak bisa memimpin, mohon izin Panglima Besar akan memimpin perang gerilya ini,” kata Soedirman kepada Bung Karno.
“Kau masih sakit, Dirman!” sergah Bung Karno. Nada suaranya meninggi.
“Yang sakit itu Soedirman, Panglima Besar tidak pernah sakit,” ujar Soedirman.
Perjuangan dan pengorbanan yang luar bisa untuk membela tanah air, itulah Panglima Besar Jenderal Soedirman. Tak salah Bung Karno memberi kepercayaan kepada Soedirman untuk memimpin Perang Gerilya. Terbukti, kepercayaan itu tidak disia-siakan oleh Jenderal Soedirman.
Masih banyak tokoh-tokoh yang diberi kepercayaan, kemudian berhasil menjaga kepercayaan itu. Bung Tomo yang dipercaya rakyat Surabaya untuk memimpin perlawanan terhadap penjajah. Ada juga Cut Nyak Dhien yang berjuang bersama rakyat mengusir penjajah dari tanah Aceh. Tak ketinggalan Sultan Harun dari Kerajaan Ternate yang dipercaya memimpin prajurit melawan penjajah Portugis dan Spanyol[4]. Betapa besar pengorbanan mereka untuk mendapat dan menjaga kepercayaan yang diberikan.
Pikiranku akhirnya terbuka setelah merenungkan kisah-kisah para tokoh besar itu. Aku menemukan jawaban kenapa aku dipercaya untuk memimpin departemen media. Ya, mungkin kakak-kakak senior telah melihat perjuangan dan pengorbananku di departemen ini, atau bisa dibilang Integritas. Hehe..... Walau pada akhirnya aku tahu alasan yang sebenarnya. Tidak ada lagi orang yang mau jadi kepala departemen media. It’s okay, tak apa, dengan ini aku bisa belajar dan mendapat hikmah ketika menjadi pemimpin.
Kepercayaan itu mahal, dan tak mudah mendapatkannya. Tak perlu muluk-muluk seperti para pahlawan untuk mendapat kepercayaan dari orang lain. Kita bisa mulai dari hal kecil, seperti saat meminjam buku milik teman atau menyelesaikan amanah yang diberikan orangtua. Meminjam buku milik teman, menjaganya dengan baik, kemudian mengembalikannya tepat waktu tanpa rusak, adalah salah satu cara mendapat kepercayaan dari teman. Begitu juga saat orangtua memberi amanah kepada kita. Dengan menyelesaikannya secara baik, tentu orangtua kita tak ragu untuk memberikan kepercayaan. Setelah kita mendapat kepercayaan, hal yang harus dilakukan adalah menjaganya. Seperti halnya buah, “kepercayaan” rentan busuk apabila tidak dijaga dengan baik.
“Kepercayaan”, tak hanya sebuah kata berisi sebelas huruf. “Kepercayaan” adalah hal yang penting dalam hidup kita. Jadi, mari kita bangun kepercayaan itu dari hal kecil, mulai sekarang. Kalau tidak kita mulai, siapa yang akan percaya kepada kita? Kalau tidak dimulai sekarang, kapan lagi orang akan percaya kepada kita? Saat nanti mereka berkata dengan penuh keyakinan “Aku percaya kamu”, dengan yakin kita balas “Aku tidak akan membuatmu kecewa”, seperti yang aku katakan kepada kakak-kakak senior waktu itu.

Referensi:
[1] Percaya
[2] Honey Honesty
[3] Kupilih Jalan Gerilya: Roman Hidup Panglima Besar Jenderal Soedirman
[4] Perlawanan 3 Kerajaan Islam Terhadap Bangsa Barat
Baca SelengkapnyaAku Tidak Akan Membuatmu Kecewa

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kebetulan Yang Sengaja

© cahayapurnama.com
“Wah, kebetulan kita ketemu di sini”, “Aku traktir yuk, kebetulan baru dapet rezeki”, dan “Kebetulan aku ada agenda, jadi ngobrolnya ditunda dulu ya” adalah beberapa contoh kalimat yang sering aku dengar tentang “kebetulan”. “Kebetulan” diartikan sebagai sebuah peristiwa atau momen yang tidak direncanakan. Jika ada dua orang secara kebetulan bertemu, itu berarti mereka tidak pernah merencanakan bertemu di tempat itu. Tapi, benarkah “kebetulan” selalu tanpa rencana? Adakah “kebetulan” yang sudah direncanakan?
“Kebetulan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti keadaan yang terjadi secara tidak terduga (tidak direncanakan). “Kebetulan” mempunyai kata dasar “betul” dengan imbuhan ke-an. Jika sinonim kata “betul” adalah “benar”, maka kenapa “kebetulan” tidak sama dengan “kebenaran”?[1] Antonim dari “kebetulan” juga bukan “kesalahan”. Jadi, bagaimana struktur kata “kebetulan” yang benar? (Aduh, kok bingung ya?)
Kata “kebetulan” sudah biasa terdengar di dalam percakapan sehari-hari. Karena sudah biasa itulah, kita menjadi tidak paham dengan konsekuensi yang menyertainya. Dengan terbiasanya kita menggunakan kata “kebetulan”, dapat mengindikasikan adanya peniadaan terhadap unsur sebab-akibat dari sesuatu[2]. Atau dengan kata lain, kita menganggap yang terjadi di keseharian kita adalah sesuatu yang tidak disengaja (tanpa sebab), seperti “Wah, kebetulan kita ketemu di sini”.
Ternyata, “kebetulan” mempunyai sebuah teori yang disebut Teori Kebetulan. Teori ini kali pertama dikemukakan oleh Empidocles dan Demokritus, yang kemudian dilanjutkan oleh Charles Darwin. Teori Kebetulan mempunyai prinsip bahwa sesuatu terjadi tanpa sebab, bahkan Bumi dianggap terbentuk secara tidak sengaja. Oiya jadi ingat, Darwin pernah melakukan sebuah “pembuktian” tentang teori ini (video “Keruntuhan Teori Evolusi”, Harun Yahya). Sebuah kain yang kumal dan kotor diletakkan di sebuah kotak terbuka. Setelah ditinggal selama semalam, ternyata di atas kain itu ada seekor tikus. Darwin menganggap bahwa tikus itu “kebetulan” berasal dari kain yang kumal dan kotor. Ini sama saja dengan menghitung kemungkinan sebuah pesawat terbentuk dari timbunan sampah yang tertiup topan. “Tidak masuk akal”.
Ada cerita menarik yang aku dapat dari sebuah kajian beberapa bulan lalu. Pak ustadz bercerita tentang seorang pria yang sedang berjalan di sebuah lapangan sepakbola. Ketika pria itu sedang berjalan, seekor burung melintas di atas kepalanya dan memberikan “hadiah” berupa kotoran. Apakah ini kebetulan? Tidak.
Pria itu berjalan di lapangan sepakbola, bisa dibayangkan sendiri luasnya. Tapi kenapa kotorannya bisa tepat menimpa pria itu? Dengan menilik kecepatan pria itu berjalan, kecepatan burung terbang, sudut terbang burung, serta berbagai faktor lain, apakah masih pantas disebut kebetulan? Coba bayangkan jika pria itu tiba-tiba berhenti, atau burung itu melambatkan kecepatannya, atau sudut terbang burung bergeser 1o saja. Apakah ini tetap kebetulan? Maha Besar Allah dengan segala ciptaan-Nya.
Tidak ada satu pun peristiwa dalam hidup kita yang disebut kebetulan. Semua yang terjadi sudah menjadi takdir bagi setiap yang menjalaninya. Ya, takdir yang sudah dituliskan Sang Pencipta. “Kebetulan” hanya muncul dari ucapan manusia, karena pada dasarnya manusia tidak tahu segalanya. Hanya Sang Pencipta yang tahu segalanya, sesuatu yang tersembunyi, juga sesuatu di masa depan. Tidak ada peristiwa yang lepas dari pengamatan dan izin-Nya, bahkan daun yang jatuh dari ranting pohon.
Yuk, sedikit demi sedikit kita kurangi penggunaan kata “kebetulan”. Kata “kebetulan” bisa diganti dengan “Alhamdulillah”. Jadi, jika nanti kita bertemu dengan orang yang tidak diperkirakan, ucapkan saja “Wah, Alhamdulillah kita ketemu di sini”. Ingatlah bahwa semua terjadi karena Allah. “Ketidaksengajaan” sebenarnya dibuat “sengaja” oleh Allah supaya kita dapat mengambil pelajaran. Well, mari kita hidup di jalan “kebenaran”, bukan terpaku pada sempitnya “kebetulan”.

Referensi:
[1] Benar vs Betul
[2] Mereduksi Kata Kebetulan
Baca SelengkapnyaKebetulan Yang Sengaja

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sepetak Lubang Jalan

© monkeymotoblog.com
Lubang di jalan beraspal itu tampak diam menganga. Ukurannya tak seberapa, hanya sebesar tutup kaleng kerupuk yang ada di rumah, tapi cukup untuk membuat kejut jantung bagi pengendara kendaraan yang tak sengaja melintasinya. Entah sudah berapa lama lubang itu di sana, tapi beberapa bulan lalu, ukurannya masih sebesar tutup gelas. Ah, mungkin hampir setahun. Pelan-pelan lubang itu jadi kasat mata.
Seperti hari ini, lubang itu sudah hasilkan dua sumpah serapah dari pengendara yang lewat. Yang pertama tadi pagi, dari seorang bapak paruh baya. Menghindari remaja yang akan berbelok, bapak itu banting stang ke kiri. Tak beruntungnya, motor melintasi lubang. “Bodoh! Belok tu kasih tanda!” makinya saat itu. Yang kedua sore ini, seorang pelajar SMA, tampaknya baru pulang sekolah. Motor matic-nya melacu sedang, mungkin tak lebih dari 40 KM/jam. Tangan kanan di kendali motor, tangan kiri asik dengan smartphone. Mungkin karena tak melihat jalan, lubang itu pun dilintasi. Kaget, benda di tangan kirinya terjatuh, layarnya retak. “Siapa yang buat lubang sih?! Tolol!” ucapnya spontan. Wajahnya merah padam.
Oh, jadi ingat kecelakaan pekan lalu. Dua kecelakaan dalam dua hari berturut-turut. Yang pertama, seorang anak kecil, mungkin masih SMP, terlibat kecelakaan dengan seorang bapak puluhan tahun. Dengar dari saksi mata, si anak kecil itu sepertinya tidak tahu bahwa ada lubang di sana. Memang, lubang itu tergenang air. Jadi, bagi siapapun yang jarang/tidak pernah lewat, tentu akan mengira jalan itu mulus. Motor anak kecil itu melintasi lubang, oleng tak terkendali, lalu menabrak motor dari arah berlawanan. Untung saja, mereka hanya luka ringan.
Kecelakaan kedua, seorang mahasiswa, aku pikir begitu. Ini terlihat dari wajah dan semangatnya yang berapi-api. Hampir sama seperti si anak kecil, hanya saja motor mahasiswa ini oleng dan jatuh. Untung saja jalan lumayan sepi. Jadi tidak ada motor yang mengikutinya jatuh. Mahasiswa itu tampak tidak kesakitan. Dia lalu bangun, seperti berorasi. “Di mana pemerintah?! Apakah mereka tidak tahu di sini ada jalan berlubang? Pemerintah harusnya paham keperluan masyarakat. Buat apa bayar pajak kalau jalan masih saja tidak dirawat…….” Warga yang datang menolong tampak menganggukkan kepala, sebagian yang lain tampak bingung.
Malam ini, ayah membawa sebuah kabar. Esok pagi warga akan bergotong royong menambal jalan yang berlubang itu dengan beton. Ini hanya sementara, hingga pekan depan jalan akan ditambal dengan aspal oleh aparat pemerintah. Kabar yang bagus. Setidaknya tak ada lagi sumpah serapah atau kecelakaan karena lubang itu. Yah, walau setelah beberapa peristiwa terjadi dan hampir setahun lubang itu menganga. Apakah kesadaran dan tindakan selalu muncul setelah masalah menjadi sesuatu yang besar?

***

“Hidup penuh dengan masalah”, mungkin kalimat ini tak sepenuhnya salah. Mulai anak kecil hingga usia senja, masalah selalu ada di dirinya. Bagi orang yang peka, saat masalah kecil datang padanya, dia segera menyelesaikan masalah itu sebelum menjadi besar. Namun bagi beberapa orang, masalah kecil akan ditunggu hingga menjadi masalah besar, lalu dilemparkan supaya diselesaikan oleh orang lain. Istilah kerennya, menggulirkan bola panas.
Banyak terjadi di sekitar kita, sebuah masalah kecil lalu dibesar-besarkan seakan masalah itu adalah masalah super besar, super gawat, dan super penting untuk diurusi, seperti sepetak lubang di jalan. Bapak paruh baya yang mengeluarkan makian. Sebenarnya beliau tak perlu marah seperti itu, cukup nasihati si remaja dengan baik. Apakah hanya karena lubang beliau menjadi kalap?
Atau seperti si pelajar SMA yang bermain smartphone saat mengendarai motor? Dia menyalahkan orang lain, padahal tanpa disadari, itu bisa jadi kesalahannya sendiri. Menyalahkan orang lain tanpa melihat diri sendiri itu adalah hal yang menggelikan.
Atau harus ada korban terlebih dulu supaya tindakan segera datang? Banyak peristiwa yang berhasil membuka mata pemerintah. Salah satunya beberapa kecelakaan karena sepetak lubang di jalan. Pemerintah akan segera menambal jalan itu, justru setelah muncul korban. Yah, walau tak semua pemerintah seperti itu. Namun, semua itu juga tak patut dibebankan kepada pemerintah. Turun tangan warga sekitar juga harus ada.
Seperti sepetak lubang di jalan, banyak hal kecil yang terabaikan. Saat hal itu tumbuh menjadi masalah besar, orang akan ramai membahasnya. Bahkan tak jarang, pihak pro dan kontra akan saling menyalahkan. Apakah mereka lupa bahwa mereka satu bangsa? Yah, adu argumen dan saling menyalahkan mungkin masih menjadi gaya hidup di tahun ini.
Baca SelengkapnyaSepetak Lubang Jalan

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS