Hidup itu penuh dengan pilihan. Dimulai saat kita masih kecil, kita akan diberi pilihan berlatih berjalan atau langsung berlari. Beranjak dewasa, kita menemui pilihan tentang sekolah. Sekolah favorit, sekolah bagus, atau sekolah rakyat. Tak dapat dipungkiri semua pilihan dalam hidup perlu sebuah pertimbangan untuk menentukan. Pertimbangan berdasar kemampuan, prioritas, juga perkiraan hasil.
Hal pilih-memilih terus berlanjut hingga kita tiba di jenjang/tingkat yang disebut Mahasiswa. Embel-embel kata "Maha" di depan kata "Siswa" menunjukkan betapa di-"agung"-kannya kita sebagai agent of change. Rakyat secara tidak langsung bergantung pada Mahasiswa untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik berdasar apa yang didapat selama duduk di bangku kuliah.
Beban di pundak Mahasiswa sebagai agent of change ini terkadang diartikan lain. Fungsi Mahasiswa ini sering diartikan dapat ilmu sebanyak-banyaknya dengan waktu sesingkat-singkatnya. Mahasiswa sering berpikir bahwa nilai bagus adalah mutlak. Apapun cara dianggap pantas untuk mencapai tujuan itu. Seperti menganggap Mahasiswa hanya Kuliah-Makan-Pulang-Belajar-Tidur. Pragmatis mungkin kata yang tepat. Sifat ini cenderung self-oriented karena tujuan yang ada di depannya harus dicapai walau mengorbankan orang lain.
Di sisi lain, Mahasiswa mempunyai sebuah pegangan atau sering disebut idealisme. Semua dianggap harus sesuai dengan pemikirannya, semua harus sesuai jalurnya. Apapun yang menyimpang akan dianggap salah. Tak dapat dipungkiri, kini idealisme dan pragmatisme sering tercampur aduk sehingga jika ditelaah kita sendiri pun bingung apa yang diharapkan Mahasiswa.
Seperti contoh Pemira (Pemilihan Raya Mahasiswa) di salah satu universitas di Jogja beberapa bulan yang lalu. Pemira dianggap sebagai jalan tercepat untuk mendapatkan seorang pemimpin. Alasan yang ada adalah struktur masyarakat yang seperti ini kurang mendukung untuk diadakannya sebuah musyawarah. Ya, dapat dianggap ini adalah sebuah pragmatisme. Sedangkan di dalam diri Mahasiswa tentu masih terbersit jiwa untuk membangun Indonesia berdasarkan karakter maupun jati diri bangsa. Seperti yang kita tahu bahwa karakter bangsa adalah tercermin di sila ke-4 Pancasila, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan". Idealisme Pancasila yang tak akan terlupakan, bahkan oleh Mahasiswa itu sendiri. Tak dapat dielakkan Pemira memunculkan aura persaingan hingga terkadang saling menjatuhkan dengan black campaign.
Jadi, manakah sebenarnya sosok Mahasiswa kini? Idealis atau cenderung pragmatis? Melihat contoh di atas, pragmatisme dapat diatasi dengan musyawarah. Dimulai dari tingkat terbawah, misal perwakilan prodi atau jurusan, dilanjutkan hingga ke tingkat perwakilan paling atas, universitas. Butuh waktu lama? Pasti. Tapi inilah cara jika idealisme harus tetap dipertahankan. Di sini Indonesia, karakter bangsa timur yang wajib dijunjung.
Menjadi idealis atau pragmatis itu pilihan. Kembali lagi harus dengan pertimbangan kemampuan, prioritas, serta perkiraan hasil. Secara sederhana, idealis adalah plan oriented, sedangkan pragmatis adalah easy going. Idealis yang harus sesuai jalur yang ditentukan, di luar itu adalah salah. Pragmatis yang nyaman dengan dirinya sendiri, cenderung tak peduli dengan orang lain.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang mau menerima budaya luar namun tak meninggalkan budaya sendiri. Jati diri bangsa adalah kesederhanaan sesuai norma yang ada. Idealis dan pragmatis telah berbaur dalam kehidupan sehari-hari. Banyak penjelasan tentang sosok idealis dan pragmatis, terutama di ECC UGM. Bagaimanapun itu, jadilah kita sesuai jati diri kita. Manapun pilihan yang diambil, berkacalah terhadap jati diri kita.
Jadi, manakah sebenarnya sosok Mahasiswa kini? Idealis atau cenderung pragmatis? Melihat contoh di atas, pragmatisme dapat diatasi dengan musyawarah. Dimulai dari tingkat terbawah, misal perwakilan prodi atau jurusan, dilanjutkan hingga ke tingkat perwakilan paling atas, universitas. Butuh waktu lama? Pasti. Tapi inilah cara jika idealisme harus tetap dipertahankan. Di sini Indonesia, karakter bangsa timur yang wajib dijunjung.
Menjadi idealis atau pragmatis itu pilihan. Kembali lagi harus dengan pertimbangan kemampuan, prioritas, serta perkiraan hasil. Secara sederhana, idealis adalah plan oriented, sedangkan pragmatis adalah easy going. Idealis yang harus sesuai jalur yang ditentukan, di luar itu adalah salah. Pragmatis yang nyaman dengan dirinya sendiri, cenderung tak peduli dengan orang lain.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang mau menerima budaya luar namun tak meninggalkan budaya sendiri. Jati diri bangsa adalah kesederhanaan sesuai norma yang ada. Idealis dan pragmatis telah berbaur dalam kehidupan sehari-hari. Banyak penjelasan tentang sosok idealis dan pragmatis, terutama di ECC UGM. Bagaimanapun itu, jadilah kita sesuai jati diri kita. Manapun pilihan yang diambil, berkacalah terhadap jati diri kita.