RSS

Sistem kadang berjalan apa adanya, kita tak pernah terpikir untuk mengubahnya. Sistem adalah sesuatu yang membantu, pembantu yang berkuasa. Dunia adalah sistem itu. Sejenak berpikir kritis, dunia yang kelam perlahan beranjak estetis.

Cinta Karena Terpaksa?

© ngasih.com
Seorang cowok sedang duduk santai di depan rumahnya. Wuuss, seorang cewek melintas cepat dengan sepedanya. Terkesima dengan cantiknya, si cowok tanpa pikir panjang lalu mengambil sepedanya yang ada di garasi. Dia berdandan ala orang yang suka olahraga. Baju tanpa lengan, celana pendek, dan handuk kecil di leher. Kayuhannya lemah mengejar si cewek. Pantas saja, dia sudah lama tak pernah bersepeda. Pelan tapi pasti, “mangsa”nya terkejar. Berkenalan, itu targetnya. Sejak hari itu, si cowok gemar bersepeda pagi lagi.
Pasti sudah biasa ya lihat atau baca setting cerita seperti itu. Ya, itu sepenggal adegan di sebuah FTV yang beberapa minggu lalu aku tonton. Tak sengaja sih awalnya, tapi kok lama-lama susah beranjak dari sofa. Apa karena ada sepeda yang ambil bagian? Entahlah. Yang pasti ada satu hal menarik yang jadi renunganku.

Pernah nggak kita suka sesuatu, yang jadi kesukaan orang yang kita sukai? Hmm, pasti sebagian besar dari kita pernah. Si dia suka komputer, kita lalu otodidak belajar komputer. Si dia suka bersepeda, kita susah payah gerakin kaki mengayuh sepeda. Si dia suka minum bajigur, kita lalu paksain suka bajigur. Mungkin kalau cuma sebatas suka dengan si dia, kita tak mungkin susah payah memaksa diri untuk suka sesuatu yang asing. Tapi beda cerita kalau level kita sudah lebih jauh. Apa itu?

CINTA. Ya, kalau kita sudah mulai merasakan cinta, sesuatu yang asing pun jadi terasa familiar. Sesuatu yang berat akan keliatan mudah (hanya keliatan, lho). Pantang menyerah untuk suka sesuatu itu. Alasannya supaya si dia terkesan dan menghargai usaha kita. Bukankah cinta perlu usaha dan pengorbanan? Dengan itu, kita berharap si dia juga merasakan hal yang kita rasakan. Tapi, kalau seperti itu, akan terlihat seperti terpaksa kan? Kita yang awalnya tak suka, lalu memaksa diri untuk suka. Seperti anak SD yang tak suka matematika, tapi dipaksa mendapat nilai bagus di ulangan matematika. Padahal dalam bidang menggambar, dia nomor satu.

TERPAKSA, bukanlah cinta yang sesungguhnya. Bukan cinta yang alami. Aneh nggak sih kalau cinta kepada manusia saja kita harus menyiksa diri? Terus bagaimana cinta yang alami? Ya, rasakan saja dengan hati. Jika kita suka kesukaannya supaya kita dekat dengannya, lalu berharap cinta akan hadir perlahan, maka itu terlihat kurang kece. Kita terpaksa untuk melakukan hal yang tak disukai, dan dia terpaksa merasakan cinta yang kita coba tunjukkan.
Cinta yang alami mungkin seperti ini. Misal diskusi sama si dia tentang sebuah novel. Dia cerita lebar-panjang, dan kita tertarik. Nah, saat itu cinta datang secara alami. Kalau pun nanti kita tertarik untuk membaca novelnya sendiri, itu satu langkah berarti. Perkembangan kita untuk suka membaca.
Di lain kasus, saat dia bercerita tentang manfaat Sholat Dhuha. Dia ceritakan pengalaman kerennya setelah membiasakan Sholat Dhuha. Kita tergerak karena ceritanya, dan mulai membiasakan. Nah, setelah kita merasakan manfaatnya, ucapkanlah Alhamdulillah karena nikmat harus kita syukuri. Itu juga salah satu cinta yang alami? Ya, kita anggap saja begitu.
Cinta kepada sesama manusia itu harusnya memang hadir tanpa paksaan. Cinta harusnya mengalir begitu saja. Suka kesukaannya tanpa kita sadari. Tapi, ada satu cinta yang akan membuat terlena saat kita benar-benar merasakannya di hati. Kita akan melakukan segala hal yang Dia sukai tanpa pernah terpaksa. Cinta apakah itu?

CINTA KEPADA SANG PENCIPTA. Cinta yang sangat nikmat. Cinta yang paling tinggi derajatnya. Sudahkah kita cinta kepada Allah? Seberapa besar cinta kita kepada Allah?
Allah suka kepada kebaikan. Allah juga suka jika kita melakukan apa yang diperintahkan-Nya. Jika hati kita dipenuhi dengan cinta kepada Allah, tentu kita tak akan terpaksa untuk melakukan semua yang Allah sukai. Begitu pun jika kita terpaksa melakukan yang Allah perintahkan, tentu itu masih lebih baik daripada tidak melakukan sama sekali. Paling tidak, kita mencicipi bagaimana rasanya cinta yang hakiki.

Jadi, masih ngaku cinta si dia, tapi terpaksa untuk suka semua kesukaannya? Pikir lagi deh, mungkin itu bukan cinta. Ya bisa saja cuma ketertarikan sesaat. Kalau beneran cinta, harusnya kita tanpa sadar suka kesukaannya, tanpa terpaksa. Tak ada keindahan cinta karena terpaksa. Pun jika kita tak suka, lebih baik jujur bilang apa adanya. Toh si dia juga akan memaklumi. Cinta kan memang saling melengkapi.
Tapi tunggu dulu. Letakkan derajat cinta kita kepada Allah di atas cinta-cinta yang lain. Kalau cinta kepada makhluk saja kita bisa berkorban, kenapa cinta kepada Allah kita justru tak mau berkorban? Mari tata kembali hati kita.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment