Terkadang
hal seperti ini selalu datang. Saat dimana orang-orang di sekitar menganggap
remeh diriku. Aku mungkin tak dapat mendengar semua yang mereka ucapkan, tapi
sedikit aku tahu yang mereka pikirkan. Perlahan mereka menjauh, perlahan mereka
mengeluh, perlahan debu pun menjauh.
Suatu
waktu aku berdiri di depan mereka. Aku coba menjadi pelayan yang baik untuk
mereka. Kucoba memberikan apa yang mereka pinta. Kucoba dengan sekuat hati. Namun
yang kurasa mereka memandangku sebelah mata. Otoriter, begitu katanya. Egois,
juga katanya. Terlalu memaksa, itu pula yang dikatakannya, bahkan mereka.
Mungkin
di saat seperti itu aku terlihat konyol, satu di antara mereka. Tapi yang tak mereka
tahu bahwa aku terus mencoba melayani mereka. Mereka yang penuh dengan
permintaan, mereka yang penuh dengan prasangka, dan mereka yang penuh dengan
perasaan.
Ketika
debu pun menjauh, aku hanya bisa terdiam. Apakah langkahku salah? Apakah tempatku
tak tepat? Apakah hidupku ini tak berarti? Kesendirian ini memaksaku menepi,
memaksaku untuk mencerna jalan hidupku kembali. Mereka menjauh, bahkan debu pun
menjauh. Seakan aku tak dihargai, seakan mereka paling berarti.
Kini
aku hanya ingin membebaskan diri. Melepaskan diri dari prasangka mereka. Prasangka
dan persepsi akan membunuh kita jika tak disertai bukti. Kini aku hanya ingin
berpikir apa arti hadirku. Apakah aku tak diinginkan? Ataukah aku memang bukan
untuk mereka?
Kesendirian
tak selalu menyakitkan. Ada waktu dimana kita dapat merenung tentang diri kita. Sendiri tak selalu berarti tak ada siapapun yang menemani. Masih ada Allah yang selalu menemani, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Waktu yang tersisa ini mungkin adalah waktu yang tepat untuk mulai mengubah
prasangka mereka. Aku bukanlah apa yang mereka pikir. Ketika mereka menjauh,
ketika debu pun menjauh, prasangka mereka bukanlah kenyataan.
Kehidupan lebih nyata daripada pendapat siapapun
tentang kenyataan
-Pramoedya Ananta Toer-