Alhamdulillah, setelah lebih kurang 2 bulan istirahat dari menulis, sekarang bisa kembali lagi nyinyir via blog. Artikel ini bukan
bermaksud untuk menyerang atau menjatuhkan pihak-pihak tertentu. Dari lubuk
hati yang paling dalam, maksud artikel ini hanya sebagai pengingat dan media
evaluasi kita bersama. Dalam artikel ini, saya memposisikan diri sebagai orang
awam. Jadi maaf jika pandangan saya kurang tepat atau ada khilaf yang saya
tidak sadari. Semoga di hari esok kita bisa menjadi lebih baik untuk mencapai
tujuan kita.
Alhamdulillah
juga, pemilu legislatif Indonesia tahun 2014 sudah berlalu. Di satu sisi,
konvoi kampanye di jalanan sudah tidak ada sehingga bagi saya juga sebagian
besar masyarakat tidak perlu tersiksa dengan suara mengerikan dari knalpot-knalpot
yang bergerilya hampir setiap hari. Di lain sisi, tidak ada lagi kampanye,
terutama di televisi, membuat intensitas tertawa dan daya analisis saya sedikit
berkurang. Apa alasannya? Intensitas tertawa saya berkurang karena saya mulai
jarang melihat kampanye yang justru menghadirkan gelak tawa. Mulai dari kader
yang kampanye lewat sinetron, melebur dalam sebuah berita heboh, jadi bintang
iklan dengan inisialnya, hingga masuk dalam artikel portal berita online.
Karena pemilu mereka tiba-tiba ngeksis
layaknya ABG, karena pemilu mereka tiba-tiba sangat baik layaknya karyawan
magang.
Lalu
hubungannya dengan daya analisis apa? Masih berhubungan sih dengan alasan
sebelumnya. Para kader itu melebur di berbagai tempat. Peleburan ini yang
terkadang jadi “duel analisis” di keluarga saya (lebih seringnya saya sendiri).
Kami sering bermain tebak-tebakan, “Habis ini si kader nyamar jadi apa?”,
“Berita ini buatan partai apa?”, “Bagus nggak aktingnya?”, dan “Siapa ya yang
nulis bagus banget kayak gini?”. Karena “duel analisis” juga yang terkadang
membuat kami sedikit naik darah, tidak parah kok, paling hanya langsung ganti channel.
Model
kampanye untuk pemilu tahun ini saya pikir jauh lebih kreatif daripada pemilu
sebelumnya. Berbagai media turut berkontribusi atas kampanye yang dilakukan
oleh partai maupun kader. Televisi, radio, koran, portal berita online, hingga
media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Youtube telah menjadi senjata
propaganda untuk saling menyerang. Serangan yang mereka lakukan tampak sangat tersamar,
namun ada kalanya mereka melakukan serangan terbuka. Nah, untuk mereka yang
melakukan serangan terbuka ini sebagian besar adalah para pemilih pemula
(pemilih yang baru kali pertama ikut pemilu). Hegemoni pesta demokrasi ini
mereka ciptakan dengan media sosial (medsos). Pernah lihat foto profil teman kalian di
Facebook pakai logo sebuah partai? Atau pernahkah lihat status dan twit teman kalian yang mengandung ajakan
untuk memilih partai tertentu? Saya yakin, sering.
Loyalitasmu,
para pemilih pemula, sedikit memudarkan rasa simpatik yang sebelumnya sangat
besar untukmu. Kampanye terbuka kamu abadikan lewat foto dan diunggah ke
medsos, kamu tambahi dengan kalimat yang dalam pandangan saya itu justru
sedikit takabur. Kamu buat foto dan status atas inisiatif pribadi, namun itu
justru hiperbola dan sedikit terlewat narsis. Kamu ubah akunmu dengan nama
cukup persuasif, “Pilih ini” atau “Pilih itu”. Saya pun jika jadi kader dengan
loyalitas sangat tinggi akan berpikir 2-3 bahkan 4 hingga berkali-kali untuk
melakukan hal “agak norak” seperti itu.
Masa
kampanye sudah diatur dengan sangat tepat oleh yang berwenang. Tiga hari masa
tenang adalah waktu yang menurut saya harus bebas dari berbagai bentuk
kampanye, entah itu iseng maupun bermaksud terselubung. Status atau twit yang kamu buat harusnya sudah tak
memuat ajakan untuk memilih lagi. Bahkan akunmu harusnya juga sudah diganti
dengan nama lain. Nah, di bagian ini yang memudarkan simpatikku (bahkan mungkin
orang awam yang lain).
“Aku
udah nyolos lho, ini kelingkingku #Partai.......”, “Keluargaku pilih ini lho
#Partai......”, juga “Ini kelingkingku bareng adikku, pengen deh dampingan sama
kelingking lain #Partai........” serta status dan twit sejenis banyak bersliweran di beranda medsos. Mungkin banyak
orang di sana yang berkata “Ah luweh, kowe nyoblos kui yo karepmu” atau
“Karepku to arep nyoblos opo, kowe enthuk opo gawe status koyo ngono?”. Apa
kamu tak tahu prinsip utama pemilu, LUBERJURDIL? Langsung, Umum, Bersih,
Rahasia, Jujur, dan Adil.
Satu
prinsip di sana, Rahasia. Mungkin harus kamu kaji ulang apa arti “Rahasia”.
Saat masa kampanye, promosi dan unjuk diri apa yang dipilih adalah hal wajar
dan tak ada yang mempermasalahkan. Yang jadi sedikit lucu adalah unjuk diri
setelah memilih, bahkan mengunggah foto-foto editan yang terkesan
sugestif-persuasif. Apakah prinsip “Rahasia” sudah tidak penting untukmu?
Apakah dunia harus tahu apa yang kamu pilih? Apakah pilihan yang kamu pilih
berdasar hati dan pemikiran matang layak untuk menjadi konsumsi publik? Kalau
menurut saya, itu lebay.
Mungkin
menjadi pemilih yang adem ayem tanpa unjuk berlebih adalah hal yang cukup untuk
menarik rasa simpatik orang lain terhadap partai pilihanmu. Mungkin jika kamu
sudah gregetan untuk update status
atau twit, lakukanlah dengan wajar
tanpa ada unsur sugestif-persuasif, apalagi bernada menyerang. Ceritakan
pemikiranmu secara lembut. Hal seperti ini secara langsung maupun tak langsung
akan menarik rasa simpatik dari orang lain. Mereka akan merasa pilihanmu
bukanlah pilihan yang haus publikasi. Mereka akan percaya pillihanmu adalah
pilihan yang tidak lebay karena
sedikitnya hal-hal di medsos yang bersliweran.
Saya
tidaklah benci dengan kamu. Saya bukanlah hater
yang akan selalu mencari celah untuk menjatuhkanmu. Saya hanyalah orang
yang ingin kita lebih baik bersama-sama. Saya hanyalah orang yang takut
loyalitasmu justru akan memudarkan rasa simpatik orang terhadap pilihanmu.
Mungkin kini bisa jadi pelajaran kita bersama, terlebih setelah melihat hasil
realita. Berikutnya, loyalitas yang diiringi kreatifitas dengan batasan akan
meningkatkan rasa simpatik orang lain, bahkan loyalis pilihan lain. Percayalah.
Untuk Indonesia yang lebih baik!