Pada awalnya aku
buta akan hidup. Tak tahu harus melakukan apa untuk mengerti hidup. Pada
dasarnya aku masih belajar hidup. Hidup yang terus kupelajari selama aku hidup.
Pada awalnya aku mati rasa akan cinta di dunia ini. Aku tak mengenal cinta.
Pada mulanya aku ikut apa kata orang. Cinta itu sengsara, cinta itu duka, cinta
itu hanya kata semata. Namun aku tahu semua itu salah. Aku terpikir cara untuk
mendalami cinta, sebisa otak kanan dan kiriku.
Aku tak mengenal dunia.
Mulai ketika aku lahir, saat gelap masih menaungiku. Aku tak tahu apa-apa, aku
hanya tahu naluriku, meski aku sendiri tak paham akan naluri. Perlahan kedua
orang tuaku mengenalkanku pada dunia. Dunia yang lembut, dunia yang sopan,
dunia yang keras, dan dunia yang membuatku jatuh. Ibu yang mengenalkanku akan
panasnya api dan dinginnya es serta ayah yang mengajariku akan kerasnya jatuh
dan lembutnya kasih sayang. Mereka adalah duniaku, dunia yang membesarkan dunia
sesungguhnya.
Aku tak mengenal lingkungan.
Kata orang, lingkunganku adalah apa yang ada pada diriku. Saat lingkunganku
baik maka bisa disimpulkan bahwa diriku juga baik, begitu pula sebaliknya. Sejak
kecil hingga sekarang aku masih coba mengenal lingkunganku yang selalu berubah.
Berubah karena waktu, semakin berubah ketika aku masuk ke lingkunganmu. Sejenak
terpikir cara untuk mengenal lingkunganmu.
Aku tak mengenal
teman-temanmu. Langkah awal yang aku mulai dengan perlahan. Teman-temanmu yang
selalu ada untukmu, mereka yang selalu munculkan senyummu. Aku coba mengenal
mereka, aku coba pahami mereka. Perlahan kulemparkan tanya tentangmu, tentang
siapa dirimu. Perlahan kupaham akan dirimu, paham akan senyummu.
Aku tak mengenal
hobimu. Dari sudut pandang ini aku tak berani mendekat. Dari sisi ini aku hanya
bisa melihat. Kau sibuk dengan hobimu, kau suka dengan hobimu. Aku coba
melihatnya, kenali, dan pahami. Itu hobimu, aku coba ikutimu. Meski mungkin aku
tak suka, namun aku coba suka dengan hobimu. Kucoba untuk lakukan sama denganmu
dan bergembira bersama.
Aku tak mengenal
rumahmu. Istana sederhanamu dengan penghuni bersahaja. Ayah, ibu, dan
saudara-saudaramu yang tak kukenal, mereka asing di mataku. Perlahan langkah
mengayun, sejenak hati tertegun, apakah nada ini akan terus mengalun? Kucoba
buka sapa kepada mereka, mereka menebar senyum. Nada yang kuinginkan pelan
mengalun. Pelan namun setia iringiku mengenal penghuni rumahmu.
Aku tak mengenal
dirimu. Tak lebih dari nama dan rupa. Awal aku jumpa hingga gundah perlahan
sirna, waktu mulai bawaku mengenalmu. Hampir semua tentang dirimu,
teman-temanmu, hobimu, penghuni rumahmu, hingga apa yang kau tahu tentangku. Aku
yakin kita akan saling mengenal lebih dalam.
Aku tak mengenal
cinta. Aku buta akan cinta. Kini saat kuberanjak mengerti, aku melihat dan berkenalan
dengan cinta. Cinta yang sebenarnya abstrak, namun coba kuurai menjadi nyata,
senyata sosokmu. Aku bisu akan cinta. Kini saat kuberanjak mengerti, aku
mendengar dan tak ragu ucapkan cinta. Cinta yang dulunya aku ragu, kini aku
yakin sekeras batu. Aku mengenal cinta, lewat dirimu, orang tuaku,
lingkunganku, dan hidupku. Cinta yang hakiki, cinta murni kepada Sang Pencipta
Cinta.
Tweet |
0 comments:
Post a Comment