RSS

Sistem kadang berjalan apa adanya, kita tak pernah terpikir untuk mengubahnya. Sistem adalah sesuatu yang membantu, pembantu yang berkuasa. Dunia adalah sistem itu. Sejenak berpikir kritis, dunia yang kelam perlahan beranjak estetis.

Rokmu Itu Kayak Bendera

Saat itu sore hari sebelum Ashar. Dalam perjalanan ke masjid, tak sengaja mataku terpaku kepada sepeda motor yang baru saja melewatiku. “Motor cowok” kalau kata orang pada umumnya. Di kursi pembonceng, duduk seorang perempuan berkerudung warna cerah dengan rok panjang agak lebar yang sedikit berkibar. Mataku terpaku, pikiranku merenung kembali. Bukan karena siapa pengendara motor itu, bukan juga karena bagaimana cara mereka berboncengan, tapi aku terpaku melihat kibaran rok perempuan itu. Berkibar terkena angin. Aku takut tanpa diduga bagian bawah roknya tersangkut roda motor itu.
Menutup aurat adalah sebuah kewajiban bagi seorang muslimah. Tak hanya kerudung, seorang muslimah diwajibkan untuk mengenakan busana yang menutup (bukan membalut) aurat, rapi, dan sopan. Busana yang dimaksud di sini adalah atasan (baju) dan bawahan (rok), atau bisa juga berupa terusan (gamis). Pada umumnya, atasan berupa baju lengan panjang dengan ukuran melebihi ukuran seharusnya. Jika kepepetnya pakai lengan pendek, maka harus memakai deker atau manset lengan. Sedangkan bawahan berupa rok pada umumnya yang panjang dan tidak terlalu kecil.
Seiring berkembangnya zaman, model busana muslimah mempunyai modifikasi yang bervariasi. Mulai dari kerudung yang berwarna-warni hingga busana yang berumbai-rumbai. Modifikasi ini juga dapat terlihat dari beberapa model rok yang dipakai beberapa muslimah, terutama mahasiswi saat kuliah. Rok dengan bawahan lebar kerap terlihat dipakai oleh mahasiswi dan agak “menakutkan” saat dipakai mengendarai sepeda motor, terutama bagi yang membonceng.
Rokmu itu kayak bendera, setidaknya ini pendapat subjektifku tentang rok dengan bawahan lebar. Aku khawatir jika suatu saat rokmu itu terhembus angin. Kita tahu Indonesia itu negeri tropis di mana matahari selalu bersinar setiap hari (kecuali mendung atau hujan). Hal ini menyebabkan banyak angin yang menuju Indonesia, karena angin cenderung akan selalu menuju arah khatulistiwa[1]. Namun ini dapat dicegah dengan kewaspadaanmu sendiri. Dengan kewaspadaanmu akan angin yang datang, insiden yang tak diharapkan dapat dicegah.
Rokmu itu kayak bendera, setidaknya ini yang kupikir saat seorang muslimah mengendarai sepeda motor dengan rok lebar. Kita tahu jarak antara kaki dan roda tak begitu jauh, apalagi bagi pembonceng. Rok yang berkibar ini akan menyebabkan ketidakteraturan jarak antara bagian bawah rok dengan roda. Bisa saja tanpa diduga ada bagian rok yang masuk ke ruji-ruji roda, atau yang lebih ngeri bagiah bawah rok terjepit masuk ke rantai sepeda motor[2]. Banyak kasus tentang rok yang berkibar dan masuk ke sela roda atau rantai sepeda motor, dari yang dapat disadari segera[3] hingga yang menyebabkan kecelakaan[4]. Namun ini dapat dihindari dengan -sekali lagi- kewaspadaanmu. Jangan memakai rok dengan bawahan terlalu lebar atau berumbai-berumbai[5] saat berkendara sepeda motor. Jika kepepetnya harus, maka pegang sisi rok yang berkibar itu dengan tangan.
Rokmu itu kayak bendera, mungkin ini pendapat yang berlebihan. Boleh saja menganggapku kurang kerjaan, mesum, atau apalah. Ini hanya sekadar pengamatan dan renungan subjektif. Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi. Yang kita tahu hanyalah kita perlu kewaspadaan dalam hidup, terutama saat seorang muslimah memakai rok dengan bawahan lebar. Bagi seorang muslimah, terutama yang berkendara sepeda motor, gunakan legging atau celana panjang juga kaos kaki saat memakai rok panjang dan lebar. Jangan lupa pula untuk memastikan posisi duduk dan posisi rok setiap saat, karena bisa saja keadaan tak terduga terjadi di tengah jalan. Tapi yang paling penting, perhatikan peraturan yang berlaku di jalan raya.
Sebuah kelancangan jika aku ingin mengubah pribadi orang lain. Tapi bukan sebuah kelancangan jika itu adalah pandangan tentang fenomena sehari-hari. Hei para muslimah, rokmu itu kayak bendera. Kayak bendera jika rok anggunmu itu rela dihembus angin tanpa dipedulikan. Tak selamanya hanya bendera yang berkibar, terkadang rok juga.

Referensi:
[1] Muson
[2] Rok Nyangkut di Roda, Pengendara Motor Terjungkal
[3] Hati-hati Memakai Rok Panjang!
[4] Pulang Wisuda, Bawahan Terjepit
[5] Tips Aman Berboncengan Sepeda Motor
Baca SelengkapnyaRokmu Itu Kayak Bendera

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Punggungmu Itu Terlalu Berharga

© @fbi_1412
Saat itu sore hari setelah Ashar. Dalam perjalanan pulang, aku melihat dua perempuan berkerudung rapi berjalan kira-kira 10 meter di depanku. Warna kerudung mereka yang ngejreng tak luput dari perhatianku. Namun yang lebih menarik perhatianku adalah tas jinjing yang mereka bawa. Bukan karena tas mereka bermerek terkenal, bukan juga karena mereka dengan lincahnya (mungkin sedikit genit) memainkan tas mereka, tapi karena fenomena mahasiswi yang kuliah menggunakan tas jinjing sudah menjadi konsumsi umum. Renungan singkatku saat itu kini dapat kurangkum secara sederhana.

Mahasiswa sejak dulu terkenal dengan tentengan buku-buku tebal bak bantal batu. Atau juga terkenal dengan intelektualnya yang didapat dari setumpuk catatan dalam tasnya. Mungkin itu pandangan untuk beberapa tahun yang lalu sebelum era teknologi dan internet menyerang. Kini, ensiklopedi 1000 halaman sudah dapat dibaca dengan hanya modal tablet. Kapasitas penyimpanannya pun tak perlu rak besar dan kokoh. Cukup space kosong kira-kira 100 MB pun sudah cukup. Begitu juga catatan kuliah, sudah bisa dibawa pulang dengan flashdisk 1 GB. Ya, teknologi membuat kita lebih minimalis.

Bawaan yang sedikit (minimalis) mungkin menjadi penyebab banyak mahasiswa dan mahasiswi memakai tas jinjing atau selempang untuk kuliah. Dalam bahasan kali ini, akan lebih menitikberatkan pada mahasiswi. Kata mereka, biar simple dan stylish gitu. Maka jangan heran jika penampilan mereka justru terlihat seperti akan pergi ke mall daripada kuliah.

Punggungmu itu terlalu berharga, hei mahasiswi, hei perempuan. Aku kasihan dengan punggung kalian jika suatu saat mengalami nyeri. Aku kasihan jika suatu saat kalian terkena skoliosis[1]. Membawa beban di lengan juga dapat menyebabkan tendinitis[2] jika dilakukan dalam waktu lama. Namun hal ini dapat dihambat dengan memindahkan beban ke lengan kanan atau kiri secara bergantian. Ini akan mengurangi efek yang dihasilkan karena membagi beban ke lengan sama rata.

Punggungmu itu terlalu berharga, hei mahasiswi, hei perempuan. Mungkin hanya persepsi pribadi, namun perempuan yang memakai tas punggung atau ransel akan terlihat lebih pintar dan cantik di mata. Mereka akan terlihat seperti mahasiswi beneran saat kuliah. Buku, catatan, dan alat tulis mereka cermin akan usaha kerasnya mencari ilmu demi masa depannya kelak. Namun bagi mahasiswi beransel, jangan siksa punggungmu dengan buku-buku terlalu tebal atau bawaan berlimpah ruah. Bawa beban seperlunya dengan ranselmu, jaga punggungmu untuk menopang pendampingmu kelak.

Punggungmu itu terlalu berharga, hei mahasiswi, hei perempuan. Berdasar sebuah penelitian, pria lebih mudah terangsang daripada wanita[3]. Ini ilmu, silakan kalau mau menganggap aku mesum atau sejenisnya. Tapi sekali lagi, jangan menggunakan anggapan dalam ranah keilmuan. Ini bisa menjadi sebuah alasan mengapa perempuan harus menjaga cara berbusananya juga lakunya. Pria cenderung lebih sensitif secara visual. Apakah punggungmu, hei perempuan, rela untuk dipandangi para pria? Terlebih dengan aroma parfummu yang dari jarak 10 meter saja aku dapat menciumnya. Coba hiasi punggungmu dengan ransel, minimal itu dapat menahan pandangan para pria akan setiap jengkal punggungmu.

Sebuah kelancangan jika aku ingin mengubah pribadi orang lain. Tapi bukan sebuah kelancangan jika itu adalah pandangan tentang fenomena sehari-hari. Hei mahasiswi, hei perempuan, punggungmu itu terlalu berharga. Terlalu berharga jika tak dijaga untuk kepentingan masa depanmu, penopang pendampingmu, juga tempat bermanja buah hatimu kelak. Tak selamanya bidadari itu bersayap, ada juga yang beransel.
Baca SelengkapnyaPunggungmu Itu Terlalu Berharga

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Ikhlas Itu

©Azaleav
Uang di kantong tersisa sepuluh ribu rupiah dalam pecahan lima ribuan. Uang segini cukup buat dua kali makan, siang ini setelah Jumatan dan nanti malam. Tapi aku pengen sedekah, aku pengen ngisi kotak infaq ini. Gimana ya? Kalau aku sedekah lima ribu berarti aku cuma bisa makan malam. Ah tak apalah, walau berat, tapi aku ikhlas.
Ikhlas itu terkadang memang butuh pengorbanan, entah pengorbanan secara fisik maupun mental. Secara fisik mungkin seperti contoh di atas. Tubuh harus bertahan dari yang namanya lapar hingga malam hari. Perut hanya diisi gelontoran air minum. Sedangkan secara mental, biasanya akan terbebani dengan pikiran-pikiran yang sebenarnya hanya halusinasi semata. “Nanti kalau aku lapar banget gimana?”, “Kalau di jalan ada apa-apa gimana? Padahal uangnya sudah dipake infaq”, juga “Aduh nanti kalau aku tiba-tiba butuh uang piye?” biasanya akan terpikir setelah kita mensedekahkan apa yang kita punya. Terkadang aku juga sih.
Ikhlas itu berat, memang benar. Dari ilmu yang pernah aku dapat, sesuatu akan dinilai keikhlasannya saat kita berat untuk melakukannya. Seperti contoh di atas lagi. Sisa uang cuma sepuluh ribu rupiah, padahal terasa lapar. Nah, saat dengan berat hati kita keluarkan selembar lima ribuan untuk sedekah dan kita tetap yakin untuk sedekah, saat itu pula kita telah ikhlas. Ya, ikhlas itu berat, tapi nikmat saat hasilnya datang.
Ikhlas itu punya berbagai macam analogi. Teringat saat dulu berkumpul bersama teman-teman berdiskusi tentang analogi sederhana dari ikhlas. Ada yang menyebut “Ikhlas itu seperti tukang parkir”. Saat mobil atau motor diminta yang punya, ya diberikan saja. “Ikhlas itu seperti saat kita mem-bully teman akrab”. Teman kita akan berat hati untuk membalas dan memilih untuk tidak membalas. “Ikhlas itu seperti orang meludah”. Walau berat hati dan takut bibirnya kering, tapi tetap ludah itu diludahkan juga. Yang lebih unik adalah “Ikhlas itu seperti orang (maaf) buang air besar”. Orang yang buang air besar tak mengharapkan apa yang dikeluarkannya untuk kembali. Nah, seperti itulah ikhlas. Tak mengharapkan balasan dari orang. Hanya berharap pahala dari Sang Pencipta.
Ikhlas itu untuk mengharap pahala. Kalau kita membicarakan kebaikan kita, ya sama saja kita nggak ikhlas. Misalnya ada si A sedekah Rp 1 juta. Dia minta namanya disebutkan saat pembacaan daftar sumbangan yang masuk. Ini namanya nggak ikhlas. Dia cuma mengharap pengakuan dari orang, bukan dari Sang Maha Kaya. Contoh lain ada si B yang juga nyumbang Rp 1 juta. Dia pesan untuk disebut “Hamba Allah” saja saat pembacaan daftar sumbangan. Nah, saat dibacakan dan disebut “Hamba Allah”, si B bilang sama orang di sebelahnya “Eh yang nyumbang Rp 1 juta itu aku lho, tapi aku pesan untuk disebut Hamba Allah saja”. Ini kasusnya sama saja dengan si A, dia hanya berharap pengakuan dari orang.
Ikhlas itu baiknya tak ada orang lain yang tahu, cukup Allah saja. Biarkan apa yang kita keluarkan dihitung pahalanya oleh Allah. Memang pada dasarnya harta yang ada pada kita hanya titipan saja. Sebagian harta kita adalah hak orang lain. Jadi dengan sedekah yang ikhlas kita telah melepaskan apa yang seharusnya kita serahkan. Tapi ingat satu kalimat, “Jangan bilang siapa-siapa”. Kalau perlu, “Berikan dengan tangan kanan, tangan kiri jangan sampai tahu”. Dan jika setelah ikhlas kita masih ragu dan khawatir dengan apa yang akan terjadi, cukup serahkan pada Allah. Allah tahu yang kita perlukan. Jadi, ikhlas dan yakinlah.
Baca SelengkapnyaIkhlas Itu

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS