“Harus seperti ini…..”, “nggak boleh
gini…..”, atau “pokoknya harus……” mungkin menjadi kalimat yang sering kita
dengar ketika berdiskusi dengan orang yang lebih tua daripada kita. Mungkin
juga itu adalah kalimat “sakti” yang digunakan untuk menghentikan sebuah
diskusi ketika argumen tidak dapat ditambahkan alasan yang akurat.
Hal ini sering menjadi tanda tanya,
terlebih ketika terjadi di keluarga sendiri. Mengapa mitos dan budaya tak boleh
dijelaskan dengan logika atau ilmiah? Mengapa susah untuk membuka pikiran untuk
sesuatu yang baru? Pertanyaan-pertanyaan tersebut yang hingga kini masih tak
dapat ditemukan jawabannya.
Mitos dan budaya memang telah
mengakar dan mendarah daging di masyarakat kita. Hingga saat ini sebagian mitos
masih menjadi pengetahuan, belum menjadi ilmu. Menghapus mitos dan budaya dapat
dianalogikan seperti menghentikan gelombang ombak, sangat susah. Namun bukan
hal mustahil untuk meluruskan mitos dan
budaya tersebut menjadi hal yang dapat diterima nalar dan logika. Perlu
pendekatan dan langkah perlahan supaya tak ada penolakan terhadap apa yang
menjadi penjelasan ilmiah dari mitos dan budaya tersebut.
Pada umumnya, mitos dan budaya yang
berkembang sekarang mempunyai beberapa sebab kemunculannya, seperti
keterbatasan pengetahuan manusia, keterbatasan penalaran manusia, keingintahuan
manusia yang telah terpenuhi sementara, dan keterbatasan alat indera manusia.[1]
Penolakan penjelasan ilmiah terhadap
mitos sering saya alami di keluarga, entah dari ibu maupun nenek. Salah satunya
adalah ketika hujan turun. Kata nenek, kalau hujan turun pasti akan ada petir,
jadi semua alat elektronik harus dimatikan. Memang benar hujan pasti akan
menghadirkan petir, namun itu akan ditentukan oleh seberapa banyak muatan
listrik yang dibawa oleh awan. Jika muatan listrik yang dibawa sedikit, maka
petir pun akan semakin lemah. Terkadang hujan deras pun tidak ada petir yang nampak
karena awan tidak membawa muatan listrik.[2] Hal ini berarti alat elektronik tidak
harus dimatikan, asal kita harus cermat mengamati awan saat itu.
Mitos tentang hujan yang lain adalah
saat ada petir televisi harus dimatikan karena petir dapat menyambar antena
televisi. Hal ini memang ada benarnya, namun jika melihat keadaan di sekitar
rumah yang penuh dengan pohon-pohon tinggi, mitos ini menjadi sedikit janggal.
Seperti yang kita tahu, petir akan menyambar benda-benda yang paling tinggi,
sedangkan antena televisi mempunyai tinggi yang tak seberapa. Beda cerita kalau
rumah kita ada di tengah lapangan.
Selain mitos, ada juga budaya yang
hingga sekarang belum didapat penjelasan yang bisa diterima logika. Seperti
contoh, pernikahan adat Jawa. Kata mereka yang pernah memakai, pakaian adat
Jawa itu membuat gerah. Kalau memang seperti itu, mengapa masih mau memakai?
Kata mereka yang pernah memakai, pakaian adat Jawa adalah budaya yang harus
dilestarikan karena sepasang pengantin dianalogikan sebagai raja dan ratu. Ya,
budaya dilakukan hanya asal dilakukan, penjelasan mengapa budaya itu harus
dilakukan sangat sedikit.
Artikel ini bukan bermaksud untuk
menyerang pihak-pihak tertentu. Uraian di atas hanya ingin memberikan gambaran
betapa sering kita menjumpai penolakan terhadap hal-hal ilmiah, bahkan dalam
keluarga sendiri. Satu hal yang pasti adalah mitos dan budaya hadir untuk
menghindarkan kita dari bencana serta menata kehidupan kita menjadi lebih
bermartabat. Berbagai hal seperti ini janganlah menjadi penghambat untuk terus
menyebarkan ilmu-ilmu serta penjelasan ilmiah tentang mitos dan budaya di
sekitar kita, meskipun mungkin kita akan menjadi anak kucing yang tak dianggap
di keluarga sendiri.
Referensi:
Tweet |
2 comments:
katanya itu kearifan lokal ???
Tepat, sebagai salah satu keunikan tiap daerah. Tapi bukan kesalahan untuk meluruskan hal itu :)
Post a Comment