© |
“Kamu pernah merasa kecewa?”
tanya teman suatu hari. “Pasti pernah!” jawabku yakin. Mana ada sih orang yang nggak
pernah kecewa? Bahkan, seorang ahli agama pun pasti pernah merasa kecewa, meski
hanya sekali.
Kecewa kepada orang lain adalah
hal yang paling umum, karena pada dasarnya, berharap kepada manusia adalah awal
dari kekecewaan. Tak seharusnya kita menggantungkan harapan kepada manusia,
karena ada Sang Pencipta tempat menggantungkan semua harapan. Sekali manusia
menjadi tumpuan harapan kita, maka bersiaplah saat kecewa tiba.
Rasa kecewa tak hanya terbatas
kepada apa yang datang kepada kita, tapi juga kepada apa yang kita lakukan.
Mungkin banyak dari kita yang sering marah kepada diri sendiri, karena
ketidakmampuan diri melakukan sesuatu, ketidakberanian melawan, hingga
ketidakmauan diri untuk berubah lebih baik. Kecewa kepada diri sendiri adalah
hal yang jarang disadari, karena orang lebih susah melihat apa yang menempel
pada diri sendiri. Bagi beberapa orang, rasa kecewa akan ditumpahkan ke orang
lain, bukan kepada diri sendiri. Ini semata karena mereka tak mau mengakui
kelemahan diri.
Saat kita berjuang mewujudkan
mimpi, tak jarang rintangan harus dihadapi, mulai dari yang mudah hingga yang
memaksa kita menangis darah. Rasa kecewa pasti akan hadir saat mimpi tak
kunjung terwujud, kecewa kepada diri sendiri. Rasa kecewa yang berujung kepada
rasa bersalah, ketidakmampuan, dan marah kepada diri. Tapi, ini yang perlahan
akan membawa kita kepada perenungan. Pertanyaan akan muncul, “Apakah usahaku
sudah maksimal?”, “Kenapa aku tak mau keluar dari zona nyaman?”, hingga “Apa
yang harus aku lakukan selanjutnya?”. Pertanyaan yang membawa kita pada
kesimpulan, “Aku harus berubah dan pantang menyerah!”.
Mimpi yang dengan keras
diwujudkan, tak pelak akan menghadirkan kekecewaan. Ini juga yang terjadi pada
Colette di film Ratatouille.
Colette--seorang koki perempuan satu-satunya di Restoran Gusteau--sangat kecewa
ketika tahu Linguini berbohong tentang kemampuannya memasak. Colette lalu pergi
dengan mengendarai motornya. Saat tiba di persimpangan jalan, dia melihat buku
resep Gusteau di etalase sebuah toko buku. Dia teringat akan mimpinya menjadi
koki untuk membuktikan pada dunia--khususnya Prancis--bahwa perempuan bisa
menjadi koki handal. Mana yang harus dia pilih, larut dalam kekecewaan dan
melupakan mimpinya atau kembali ke restoran dan terpaksa melawan rasa
kecewanya? Tak butuh waktu lama, dia memilih untuk kembali ke restoran.
Di restoran, dia melihat Remy--si
tikus jago masak--dan keluarganya sedang bersusah payah menyiapkan pesanan para
pelanggan. Hampir saja Colette pergi karena mual melihat banyak tikus di dapur.
Tapi saat Linguini menghentikannya, Colette berubah pikiran. Dia mau membantu
Linguini dan Remy setelah membuang jauh kekecewaannya. Walau pada akhirnya
Restoran Gusteau harus ditutup, Colette telah berhasil menjadi koki handal dan
membuka restorannya sendiri. Lebih dari itu, dia juga turut berperan mewujudkan
mimpi Remy untuk menjadi koki.
Mimpi dan kekecewaan adalah dua
hal yang susah saling terlepas. Rasa kecewa saat bermimpi, sedikit-banyak
berasal dari diri sendiri. Bukan ratapan yang diperlukan untuk bangkit, tapi
kemauan dan usaha. Coba temukan jalan lain jika jalan kita sekarang tak
mendukung mimpi kita. Hadapi rintangan dan selesaikan masalah, bukan menghindar
dan lari. Perlahan keluar dari zona nyaman untuk tingkatkan kemampuan, bukan
hanya berdiam dilenakan kenyamanan. Jadikan mereka yang memberatkan langkah
kita sebagai ujian dan penyemangat. Yakinlah, mimpi kita akan terwujud.
Tak ada keberhasilan yang
dijanjikan saat mimpi dituliskan. Tapi, banyak jalan yang bisa dipilih untuk
mencapai keberhasilan. Tak ada jaminan hidup kita bebas dari rasa kecewa. Tapi
yang pasti, kecewa adalah rasa yang mengawali keberhasilan sebuah mimpi.
Tweet |
0 comments:
Post a Comment