RSS

Sistem kadang berjalan apa adanya, kita tak pernah terpikir untuk mengubahnya. Sistem adalah sesuatu yang membantu, pembantu yang berkuasa. Dunia adalah sistem itu. Sejenak berpikir kritis, dunia yang kelam perlahan beranjak estetis.

Balonku Terbang Saat Sholat Id

© wowmenariknya.com
Sudah lebih dari 20 tahun yang lalu aku dibelikan balon untuk kali pertama. Aku dibelikan balon itu sesaat sebelum Sholat Id dimulai. Ya, aku dibelikan balon hanya saat lebaran tiba. Mungkin karena hanya saat itu aku jumpai penjual balon, atau mungkin karena hanya saat itu aku mendapat beberapa lembar uang kertas dari simbah. Itu masih menjadi misteri. Tapi yang pasti, dari 3-4 tahun aku dibelikan balon--dengan jumlah 3-4 balon--hanya 1 balon yang selamat sampai di rumah. Sisanya meledak, atau kalau beruntung aku bisa melihatnya terbang tinggi sambil mengucapkan salam perpisahan.

Zaman dulu, Sholat Id selalu identik dengan balon-balon yang terbang menghiasi langit. Balon-balon yang tanpa sengaja memisahkan diri dari pemiliknya. Tapi entah kenapa, akhir-akhir ini fenomena itu mulai berkurang. Mungkin karena balon sekarang sudah berubah bentuk, ada ikan, kepala Doraemon, bahkan Spongebob. Paling tidak, kenangan itu akan selalu dikenang di dalam angan.

Sebagaimana anak balita yang dibelikan sesuatu untuk kali pertama, aku yang dibelikan balon pun berusaha sangat keras menjaga benda itu. Tangan kanan menggenggam benang yang diikat di balon, sedangkan tangan kiri digenggam erat oleh ibu yang tak mau anaknya terbang seperti balon. Sebagaimana tingkah balita umumnya, mata tak akan lepas dari balon, hati-hati terhadap segala ancaman, juga orang-orang yang mendekat. Don’t touch my balloon!

Hingga tiba saatnya Sholat Id, saat aku harus meletakkan balonku sejenak. FYI, di ujung benang yang terikat ke balon, terikat batu kecil sebagai pemberat. Pikirku cukup aman, tapi memang takdir tak bisa hanya dipikir. Tanpa alasan yang jelas, saat Sholat Id hampir usai, batu kecil itu lepas dari ikatan benang, dan balon pun terbang. Selincah-lincahnya aku saat itu, tak mungkin aku bisa menangkap balon yang pergi sesuka hati itu. Dan, hal pertama yang aku lakukan tentu saja menangis. Sambil puas meluapkan, aku pandangi balonku hingga dia tampak seperti titik di langit.

Tahun demi tahun pun berlalu. Sejak menginjak SD, aku tak pernah dibelikan balon lagi. Tahun demi tahun pun membuatku mengerti pelajaran penting dari terbangnya balon saat Sholat Id. KEIKHLASAN. Hati siapa yang akan mudah melepaskan sesuatu yang dimilikinya untuk pergi? Pun saat bisa melepaskan, mata kita akan terus memandanginya hingga dia berlalu dan tak tampak lagi. Bahkan mungkin akan terus memikirkannya siang-malam. Tanpa aku sadari, sejak kecil aku sudah mengalami apa yang disebut kehilangan.

Zakat dan bermaafan adalah contoh keikhlasan. Zakat, kita berbagi yang kita miliki dengan orang lain. Bermaafan, kita mengikhlaskan segala lara yang dirasa dan memaafkan tanpa dendam di hati. Semua itu identik dengan lebaran. Dan, lebaranku zaman dulu identik dengan perpisahan yang menuntut keikhlasan.

Hingga kini, aku masih suka tersenyum sendiri saat ingat polahku melihat balon mulai terbang. Keikhlasan yang tanpa aku sadari diajarkan alam lewat terbangnya balon ke titik tertinggi. Entah kapan, tapi aku pasti juga akan tiba pada titik tertinggi dan terakhirku dalam hidup. Saat kemarin aku melihat balon terbang dan tak lama suara tangisan anak kecil terdengar, aku hanya bisa berucap dalam hati, “Sabar ya dek, balon itu sedang mengajarimu ikhlas. Memang berat kok perpisahan itu”.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment