© |
Sahabat, sebuah kata yang
menampakkan ketenangan, kesejukan, dan kebahagiaan. Tenang ketika rasa galau
berhasil diusir oleh ekspresi lucunya. Sejuk karena nasihat-nasihatnya dapat
mendinginkan hati yang terbakar. Juga bahagia yang terbawa bersama hadirnya di
kala senja sore tak bersahabat. Itu yang selalu aku rasakan untuk setiap waktu
bersama sahabat, hingga semuanya berubah.
Tak
tahu persisnya, yang kutahu hanya akhirnya. Dia mulai menjauh, dia berubah. Meski
kebaikannya masih ada, tapi ketenangan, kesejukan, dan kebahagiaan yang selalu
dia hadirkan mulai tak tampak lagi. Saat itu, hanya satu pertanyaan yang aku
pikirkan, “Ada apakah di antara kita?”. Mungkinkah ada sebuah tembok tak
terlihat yang menghalangi semua sifatmu yang dulu? Ataukah mataku mulai rabun
akan silaunya semua sifatmu yang dulu? Entahlah.
Musuh,
mungkin itu yang aku rasakan setelahnya. Di mataku dia jahat, tak terlalu jahat
memang, atau mungkin hanya pendapat subyektifku saja. Di benakku dia keras,
seperti tegas yang biasa memang, atau hanya otakku yang mulai mensintesis hormon
benci untuknya. Semua di mataku menurut orang lain tak sama di mata mereka. Kata
mereka, sahabatku tak berubah. Ucap mereka, sahabatku tetap sama. Entahlah.
Di
hari-hariku yang terus berlalu, tak jarang aku hanya diam ketika dia menyapa. Sering
kali aku tak menatapnya ketika kita bertemu di lorong sempit menuju kantin. Terkadang
aku berpikir, “Dia sahabat atau musuh?”. Jika musuh, dia tidak menjatuhkanku. Namun
jika sahabat, aku mulai berpikir negatif tentangnya. Lama aku mencari jawaban
itu. Kucoba bertanya kepada langit malam, debu yang membisu, dan beberapa orang
yang kuanggap tepat. Hasilnya sama, tak ada jawaban. Kucoba lebih lama untuk
berpikir, menyendiri untuk merenung. Hingga aku mulai sadar akan sesuatu. Aku telah
dibutakan oleh perhatian.
Sahabatku
yang dulu selalu ada untukku. Sahabatku yang dulu selalu bawa hatiku tenang. Sahabatku
yang dulu selalu penuhi waktuku dengan perhatian. Perhatian yang bawaku buta
akan sebuah kata, “Hilang”. Perhatiannya yang besar telah menggiring pikiranku
untuk memandangnya seperti itu. Hingga suatu hari sedikit perhatiannya hilang,
dan itu mengacaukan pikiranku. Hanya sedikit perhatiannya padaku yang hilang
dan dia berikan kepada sahabatnya yang lain. Aku merasa sangat bodoh dengan ingin
merajai perhatiannya. Dia bebas punya berapapun sahabat, begitu juga aku. Sahabat
tak boleh dibatasi karena sahabat itu seperti ranting. Semakin kuat kepedulian
sebagai batangnya, semakin banyak juga ranting sahabat yang muncul, semakin
kokoh pula pohon kehidupan yang kita coba jaga bersama.
Musuh
adalah sahabat yang belum jadi, kata Mario Teguh. Kalimat itu benar adanya. Tak
dapat dipungkiri, terkadang musuh lebih perhatian daripada sahabat kita sendiri.
Musuh akan coba mencari tahu semua kelebihan dan kekurangan kita. Itu semua
dilakukan untuk menjatuhkan kita. Namun, tak sedikit musuh yang dapat menjadi
sahabat setelah mengetahui kelebihan kita. Anime Pokemon pun mengajariku tentang
sahabat. “Musuh hari ini adalah sahabat di esok hari. Tapi sahabat hari ini
adalah sahabat untuk selamanya”. Persahabatan tak kenal adanya kasta, harta,
maupun tahta. Semua sama, semua adalah kita. Sekarang aku sadar, dia tetap
sahabatku. Tak ada istilah “mantan sahabat” bagiku. Bagaimana denganmu? Dia sahabat
atau musuhmu? Yang manapun itu, dia tetap sahabat di hatimu.
Cara yang terbaik menghancurkan musuh adalah
menjadikannya sahabat
-Abraham Lincoln-
Tweet |
0 comments:
Post a Comment