RSS

Sistem kadang berjalan apa adanya, kita tak pernah terpikir untuk mengubahnya. Sistem adalah sesuatu yang membantu, pembantu yang berkuasa. Dunia adalah sistem itu. Sejenak berpikir kritis, dunia yang kelam perlahan beranjak estetis.

Malam Ahad Diko: Diplomasi Karya

               Becek, basah di mana-mana, bahkan di hati yang kering pun begitu. Sabtu sore jalan di depan rumah kecil yang kami anggap kantor ini juga sama, becek. Kucing kecil yang tampak sayu tatapannya hanya bisa mengeong kalem saat melompati genangan air. Sebenarnya kalau kita bisa menghayatinya, itu bukanlah becek, namun hanya kesejukan setelah gersang yang akan lama hilang.
            Hujan terkadang membawa semangat, terkadang juga membawa kesepian. Sore ini suasana kantor cukup sepi, bahkan sangat sepi. Aku yang ndilalahe[1] datang bersamaan dengan Rafi, hanya melihat Aska yang duduk di ruang utama.
                “Mana yang lain?” tanyaku kepada Aska.
            “Nggak tahu, nggak datang mungkin karena hujan,” jawabnya cepat.
            “Baca apa, As?” Rafi tampak penasaran dengan buku yang sedang Aska baca. Tampak di tangan Rafi juga ada buku. Seperti biasa, sketch book.
            “Cuma buku tentang perkembangan politik masa kekaisaran Jepang,” mata Aska tampak berbinar-binar. Mungkin dia merasa akhirnya ada orang yang mau mendengarkannya berbicara tentang perkembangan dunia.
           Aska, seorang yang ceplas-ceplos namun berwawasan luas. Sosoknya mampu membawa suasana setiap kali kami ngantor. Dari politik Asia-Pasifik hingga perkembangan pemerintahan Eropa serta Amerika-Afrika-Australia tidak ada yang dia lewatkan. Pengetahuannya tentang dunia internasional tidak perlu diragukan lagi. Mungkin ini menurun dari ayahnya yang merupakan seorang diplomat kondang.
              “Bro, ada yang tahu kunci kesuksesan Perjanjian Hudaibiyah?” tiba-tiba Kak Maro muncul dari ruang sebelah. Lagi-lagi dengan pertanyaannya.
                “Aha, aku tahu, kak!!!” seru Aska cepat. Ya, urusan perjanjian, isu dunia, juga teknik berbicara dia jagonya.
                “Cobo jelasno![2] Kak Maro tersenyum. Senyum yang sedikit aneh, lagi.
            “Kesuksesan Perjanjian Hudaibiyah terletak pada wakil kaum Muslimin dalam perjanjian itu. Ya, siapa lagi kalau bukan Rasulullah, seorang diplomat ulung. Walau sekilas perjanjian itu merugikan kaum Muslimin, namun dengan pemikiran mendalam dan kepintaran beliau serta izin Allah, perjanjian itu mendatangkan kemenangan besar bagi kaum Muslimin,” kata Aska panjang lebar.
                Seperti yang kita tahu, Perjanjian Hudaibiyah (6 H) mendatangkan kemenangan yang besar, salah satunya adalah terbukanya dakwah persebaran Islam sehingga banyak orang Arab akhirnya memeluk Islam. Ini merupakan bukti bahwa kecerdasan Rasulullah dalam berdiplomasi tidak dapat disangkal, tidak terlepas dari izin Allah.
                “Rasulullah mempunyai ketenangan dan kesabaran yang sangat tinggi. Tulisan dalam surat yang beliau kirimkan kepada Raja Najasyi sehingga memeluk Islam sangatlah menyentuh hati. Ini bukti ketenangan beliau dalam bertutur. Juga ketika diperlakukan tidak manusiawi oleh penduduk Thaif, beliau sangat bersabar dan menyerahkan segala urusan itu kepada Allah,” ujar Kak Maro berapi-api. “Itu adalah modal seorang diplomat.”
                “Terus gimana kita menerapkan prinsip diplomasi itu? Kita harus perang gitu?” tanyaku.
                “Yo kudu perang, gelut-gelut!”[3] kata Rafi disusul tawanya. Entah kenapa kita mengikutinya tertawa. Hahahaha……..
              “Sabar bro, diplomasi nggak harus perang. Kita bisa lakukan dengan kemampuan kita. Namun kuncinya adalah sabar, seperti Nabi Nuh yang sabar berdakwah selama lebih dari 900 tahun. Tapi kita nggak perlu 900 tahun juga. Emangnya bisa hidup selama itu?” Kak Maro membuat suasana sore itu pecah. Kami tertawa lagi.
                “Terus gimana maksudnya?” tanyaku lagi.
                “Teras-terus kayak tukang parkir aja. Hahaha……,” kata Kak Maro. “Diplomasi dilakukan dengan menyesuaikan medannya. Rasulullah berdiplomasi dalam peperangan karena musuh beliau saat itu nyata. Sedangkan sekarang, musuh kita masih abu-abu. Jadi kita harus hati-hati dalam berperang, jangan salah berdiplomasi. Nah, gimana kita berdiplomasi? Ya, dengan karya kita.”
             “Maksudnya?” Aska juga masih bingung. Aku lihat Rafi juga tampak bingung. Hahaha………aku juga sama.
                “Diplomasi karya. Kemampuan kita, terutama dalam bidang media, akan menghasilkan karya yang dapat kita gunakan sebagai alat diplomasi. Dengan karya, secara halus kita dapat mengajak musuh kita untuk kembali kepada jalan yang lurus, kepada kebenaran,” senyum Kak Maro mengembang lagi.
              “Bahasamu kak kayak main Age of Empire. Emang musuh kita siapa?” tanya Rafi sambil mengernyitkan dahi.
              “Sebenarnya banyak, tapi yang utama adalah dirimu sendiri,” jawab Kak Maro. Jawaban yang cukup sederhana.
               Diplomasi Karya, cara diplomasi yang dapat dilakukan dengan karya kita. Hidup di dunia ini adalah perjuangan menjadi yang terbaik. Dakwah kreatif adalah salah satu perjuangan itu, dengan karya tentunya. Tidak perlu memikirkan terlalu jauh keadaan apa yang ingin kita ubah, tapi lakukan apa yang kita mampu. Kalau kita mampu berdiplomasi dengan karya kita, kenapa tidak kita lakukan? Untuk mengalahkan musuh kita, ya diri kita sendiri.
                “Bro, udah Maghrib. Yang ngantor cuma kita berempat, gara-gara hujan nih,” kataku.
                “Diko, hujan itu berkah. Lihat, pelangi munculnya setelah hujan, kan?!” sahut Aska cepat.
                  “Iya, Bapak Diplomat!” kami pun tertawa bersama.
               Benar, hujan itu berkah dan anugerah. Pelangi akan muncul setelah hujan reda, seperti yang aku sering lihat di matanya.


[1]Kebetulan
[2]Coba jelaskan
[3]Ya harus perang, berkelahi-berkelahi

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment