Seperti
biasanya, Sabtu adalah jadwal untuk ngantor. Namun tak seperti biasanya, aku
sangat terlambat datang. Di rumah kecil tempat biasa kami ngantor ini, telah
duduk teman-temanku dengan kesibukannya masing-masing. Yuha, Pino, dan Halan
masih coba untuk memeras otak demi tulisan mereka yang baru setengah. Aska seperti
biasa, berceloteh ria tentang gejolak politik dunia. Rafi yang tampak suntuk
sedang mencorat-coret sketchbook-nya.
Di mana Kak Maro? Tumben nggak kelihatan.
“Assalamualaykum…..,”
ucapku sembari masuk.
“Wa’alaykumussalam…..
Kok terlambat?” jawab Rafi. Tangannya masih aktif mencorat-coret.
“Maaf,
tadi habis ngajari adik-adik di sekolah. Saking serunya, jadi lupa kalau harus
ngantor. Hahaha…..,”
“Kebiasaan
ihh…..,” Yuha menimpali. Aku hanya bisa tertawa.
Di
ruang sebelah aku lihat Kak Maro sedang ngobrol dengan Kak Ovri dan Kak Bara. Mereka
mungkin sedang berdiskusi tentang edisi berikut yang akan terbit, atau sekedar
ngobrol nggak jelas yang biasa mereka lakukan. Tak lama, Kak Maro muncul ke
ruang utama.
“Ada
yang hafal Surat Al Maa’idah ayat 35?” tanyanya.
“Yah,
lagi deh……,” seru Halan dan Pino hampir berbarengan.
“Kebiasaan
deh nongol langsung tanya-tanya,” wajah Yuha tampak ditekuk sebal, atau memang
sudah seperti itu dari sananya?
“Diko
jawab tu, datang terakhir kan,” jawab Aska sambil tertawa. Oiya, dari tadi dia
baru diam dari celotehannya. Super sekali…..
“Sik-sik,
tak bukakke Al Qur’an sik,”[1] jawabku. “Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri
kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”
“Nah itu, kita sekarang berkutat
di media juga salah satu cara berjihad. Masing-masing dari kalian punya spesifikasi
tersendiri. Kalau digabungin, pasti super hasilnya nanti,” urai Kak Maro
panjang lebar.
“Terus kalau masalah takwa?”
tanya Rafi. Tangannya tetap tak lepas dari sketchbook-nya.
“Takwa itu bisa dianggap seperti
pohon, sedangkan buahnya adalah akhlak. Nah, kalau pohonnya dirawat dengan
baik, pasti buahnya juga enak,” Kak Maro dengan sabarnya menjelaskan. Pantas kalau
dijuluki sebagai topic starter di
tiap forum yang ada.
“Mungkin kalau dianalogikan itu
kayak abdi dalem kraton ya?” tanya Aska.
“Nah, benar. Coba jelaskan,
Aska!” pinta Kak Maro.
“Abdi dalem itu kalau diperintah
Sultan pasti langsung meng-iya-kan, nggak pernah membantah. Istilahnya “Sendiko dawuh”.[2] Kalau abdi dalem aja
diperintah oleh manusia nggak membantah, masak kita yang diperintah oleh yang
menciptakan manusia, yang notabene perintahnya
pasti benar, kadang masih nolak, masih mencla-mencle.[3] Apa kata dunia?!” sama, Aska menjelaskannya panjang lebar. Lagi, dia
berbicara tentang dunia.
“Sekarang, sudah dapat gambarannya? Oke para
penulis, itu brainstorming untuk
tulisan kalian. Yang lain, kerjaan kalian masih banyak, segera selesaikan ya,
edisi berikutnya segera terbit,” kata Kak Maro. Senyumnya mengembang.
Semua kembali pada kesibukannya
masing-masing, aku juga, menyelesaikan artikelku. Berjuang sungguh-sungguh
untuk merawat pohon takwa yang kelak berbuah enak. Tiba-tiba pintu diketuk.
“Wah, akhirnya Fani datang,”
kataku spontan. Entah kenapa, wajah Yuha bersemu merah.
[1]Sebentar-sebentar, aku bukakan Al Qur’an
dulu
[2]Iya, bersedia
[3]Plin-plan
Tweet |
0 comments:
Post a Comment