© |
Suatu kali kutuliskan kisahmu
dalam sebuah cerpen. Kisah hidup yang sederhana, tapi begitu menyentuh dan
bermakna. Pernah juga kujadikan prinsip-prinsip hidupmu sebagai bahan
perbincanganku dengan adik angkatan di kampus. Prinsip hidup yang mungkin sama
dengan beberapa orang. Tapi, ada rasa yang begitu “jleb” ketika kau yang
mengatakannya. Beberapa kali juga, aku menjadikanmu contoh betapa hebatnya
kuasa Allah. Jatuh-bangun kaulalui, tapi
tak sekalipun kaumenggugat Sang Pencipta. Teman, aku bangga untuk menceritakan
kehebatanmu. Teman, kuharap kau tak keberatan kisahmu kubagi dengan dunia.
“Teman” menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) berarti orang yang menjadi pelengkap atau orang yang
melakukan sesuatu bersama-sama[1]. Aku lupa kapan tepatnya kita
bertemu pertama kali. Yang pasti sejak saat itu, aku mulai mengenalmu, bahkan
lebih dari aku mengenal diriku sendiri. Kelebihan dan kekurangan diri tak ragu
untuk kita bagi. Ya, itu karena kita yakin, kita ada untuk saling menguatkan. Kita
akan saling melengkapi. Kelemahanku dengan kelebihanmu, begitu juga sebaliknya.
Waktu pun terus berlalu,
suka-duka kita bagi tanpa ragu. Mulai dari pengalaman manis saat kita juara
lomba penelitian, hingga yang paling pahit saat kita adu argumen tanpa saling
mengalah. Seingatku, tiga hari kita tak saling sapa. Ah, mungkin sejak itu aku
mulai memanggilmu sahabat. Ya, karena sahabat selalu ada ketika kita sedang
senang, bahkan saat sedih, sahabat akan datang tanpa diundang. Berkali-kali kautahu
kalutnya hatiku. Entah dari mana, padahal wajahku tak pernah menunjukkan itu.
Sendiri membuat manusia lebih
banyak mengeluarkan hormon stress, meningkatkan resiko bunuh diri, dan
mengurangi kualitas tidur (Inspire’s Minimagz #25)[2]. Karena itulah,
aku sangat bersyukur Allah telah menghadirkanmu sebagai sahabat. Lewat canda-tawamu,
sejenak aku dapat melupakan gundah. Lewat kehangatan kata-katamu, kaubimbing
aku bangkit. Walau aku tahu, terkadang hatimu lebih berduka daripada hatiku.
Kini, kita telah beranjak dewasa.
Kita telah punya jalan masing-masing untuk menggapai cita-cita. Mungkin tak
lama lagi, kita akan saling mengucap “selamat jalan”. Mungkin tak lama lagi,
kau akan berjumpa teman baru. Apapun masa depan kita nanti, aku tetap bersyukur
telah berjumpa sahabat sepertimu. Apapun yang terjadi nanti, kita ada untuk
saling menguatkan. Ya, itulah sahabat.
Banyak
kisah yang telah kita lalui. Tapi hingga sekarang, entah kenapa aku masih cukup
malu untuk mengatakannya, mengatakan kalimat “Sahabat, aku bangga padamu”. Atau
mungkin aku terlalu angkuh? Yang pasti untuk sekarang, aku hanya bisa berbagi
kehebatanmu kepada dunia. Aku suka ketika orang lain bersemangat setelah kuceritakan
kisah hidupmu. Aku bahagia ketika prinsip hidupmu menginspirasi orang lain. Kuceritakan
kehebatan dirimu karena aku bangga padamu. Sahabat, terima kasih untuk
pelajaran hidup yang kaubagi. Kelak akan kukatakan kepadamu, “Sahabat, aku
bangga padamu”. Kelak sebelum waktu memisahkan kita.
Referensi:
[1] Teman
[2] Firstly Friendstastic