© teropongbisnis.com |
“Untuk satu tahun ke depan, kami percaya,
kamu bisa mimpin temen-temen di media,” kata kakak-kakak senior di kampus waktu
itu.
Menjadi kepala Departemen Media dan Jurnalistik bukanlah keinginanku, bahkan terpikir pun tidak. Kali pertama terjun di organisasi, aku tak ada keinginan untuk bergabung di departemen media. Aku pikir, media itu useless, isinya cari berita, nulis, nge-layout, nggak jelas gitu. Tapi Allah berkehendak lain. Melalui seorang kakak senior, Allah menentukan aku masuk departemen media.
“Setelah melihat kemampuan, bakat, serta potensi, sepertinya adek cocok masuk departemen media” adalah kalimat yang akan selalu aku ingat. “Ah, cuma basa-basi aja”, pikirku saat itu. Tapi setelah mulai merasakan atmosfer departemen media, aku akhirnya sadar. Aku rasa ini yang selama ini aku cari. Ke-nggak jelas-an diskusi tapi bermakna, pikiran kreativitas tanpa batas, serta open minded-nya teman-teman di departemen media, telah memaksaku “jatuh hati” di jalan media.
Well, setelah setahun masa “penjajakan”
dengan media, akhirnya aku dipercaya memimpin teman-teman di media. Sebenarnya aku
keberatan. Apalah aku ini, hanya seorang mahasiswa yang sering disebut “aneh”. Aku
keberatan, aku takut mereka nanti tertular “aneh”. Kalau sudah begitu, aku kan
yang salah. Hikz....
Tapi, kenapa kakak-kakak senior percaya aku bisa memimpin departemen media?
Apakah karena aku memang bisa? Atau karena sudah tak ada orang lagi yang
pantas?
“Kepercayaan”
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti harapan dan keyakinan akan
kemampuan seseorang atau sesuatu[1]. “Kepercayaan” sangat mahal
harganya, bahkan tidak dapat dibeli dengan uang sekalipun. “Kepercayaan” hanya
bisa didapat apabila kita sukses melakukan amanah-amanah yang diberikan
(Inspire’s Minimagz #29)[2], atau istilah kerennya Integritas. Betapa
susahnya untuk mendapatkan kepercayaan dari orang lain, bahkan banyak
tokoh-tokoh nasional yang harus berkorban sebelum dirinya mendapat kepercayaan.
Tersebutlah
seorang Panglima Besar Jenderal Soedirman. Beliau yang sangat lekat dengan “Perang
Gerilya”nya, telah membuktikan bahwa para petinggi negeri saat itu tidak salah
memberi kepercayaan kepadanya. Setelah memimpin prajurit perang di daerah,
Soedirman memilih jalan gerilya untuk berperang. Bung Karno menolak ikut. Namun,
Soedirman dengan tubuh ringkih menahan sakit paru-paru, tetap bersikukuh melancarkan
gerilya. Beliau tidak peduli dengan sakitnya. Ini semata untuk membakar
semangat dirinya, juga semangat para prajurit[3].
“Kalau
Panglima Tertinggi tidak bisa memimpin, mohon izin Panglima Besar akan memimpin
perang gerilya ini,” kata Soedirman kepada Bung Karno.
“Kau
masih sakit, Dirman!” sergah Bung Karno. Nada suaranya meninggi.
“Yang
sakit itu Soedirman, Panglima Besar tidak pernah sakit,” ujar Soedirman.
Perjuangan
dan pengorbanan yang luar bisa untuk membela tanah air, itulah Panglima Besar
Jenderal Soedirman. Tak salah Bung Karno memberi kepercayaan kepada Soedirman
untuk memimpin Perang Gerilya. Terbukti, kepercayaan itu tidak disia-siakan
oleh Jenderal Soedirman.
Masih
banyak tokoh-tokoh yang diberi kepercayaan, kemudian berhasil menjaga
kepercayaan itu. Bung Tomo yang dipercaya rakyat Surabaya untuk memimpin
perlawanan terhadap penjajah. Ada juga Cut Nyak Dhien yang berjuang bersama
rakyat mengusir penjajah dari tanah Aceh. Tak ketinggalan Sultan Harun dari
Kerajaan Ternate yang dipercaya memimpin prajurit melawan penjajah Portugis dan
Spanyol[4]. Betapa besar pengorbanan mereka untuk mendapat dan
menjaga kepercayaan yang diberikan.
Pikiranku
akhirnya terbuka setelah merenungkan kisah-kisah para tokoh besar itu. Aku menemukan
jawaban kenapa aku dipercaya untuk memimpin departemen media. Ya, mungkin
kakak-kakak senior telah melihat perjuangan dan pengorbananku di departemen ini,
atau bisa dibilang Integritas. Hehe..... Walau pada akhirnya aku tahu alasan
yang sebenarnya. Tidak ada lagi orang yang mau jadi kepala departemen media. It’s okay, tak apa, dengan ini aku bisa
belajar dan mendapat hikmah ketika menjadi pemimpin.
Kepercayaan
itu mahal, dan tak mudah mendapatkannya. Tak perlu muluk-muluk seperti para
pahlawan untuk mendapat kepercayaan dari orang lain. Kita bisa mulai dari hal
kecil, seperti saat meminjam buku milik teman atau menyelesaikan amanah yang
diberikan orangtua. Meminjam buku milik teman, menjaganya dengan baik, kemudian
mengembalikannya tepat waktu tanpa rusak, adalah salah satu cara mendapat
kepercayaan dari teman. Begitu juga saat orangtua memberi amanah kepada kita. Dengan
menyelesaikannya secara baik, tentu orangtua kita tak ragu untuk memberikan
kepercayaan. Setelah kita mendapat kepercayaan, hal yang harus dilakukan adalah
menjaganya. Seperti halnya buah, “kepercayaan” rentan busuk apabila tidak
dijaga dengan baik.
“Kepercayaan”, tak hanya sebuah
kata berisi sebelas huruf. “Kepercayaan” adalah hal yang penting dalam hidup
kita. Jadi, mari kita bangun kepercayaan itu dari hal kecil, mulai sekarang. Kalau
tidak kita mulai, siapa yang akan percaya kepada kita? Kalau tidak dimulai
sekarang, kapan lagi orang akan percaya kepada kita? Saat nanti mereka berkata
dengan penuh keyakinan “Aku percaya kamu”, dengan yakin kita balas “Aku tidak
akan membuatmu kecewa”, seperti yang aku katakan kepada kakak-kakak senior
waktu itu.
Referensi:
[1] Percaya
[2] Honey Honesty
[3] Kupilih Jalan Gerilya: Roman Hidup Panglima Besar Jenderal Soedirman
[4] Perlawanan 3 Kerajaan Islam Terhadap Bangsa Barat
Tweet |
0 comments:
Post a Comment