© cahayapurnama.com |
“Wah, kebetulan kita ketemu di sini”, “Aku traktir yuk, kebetulan baru dapet rezeki”,
dan “Kebetulan aku ada agenda, jadi ngobrolnya ditunda dulu ya” adalah beberapa
contoh kalimat yang sering aku dengar tentang “kebetulan”. “Kebetulan”
diartikan sebagai sebuah peristiwa atau momen yang tidak direncanakan. Jika ada
dua orang secara kebetulan bertemu, itu berarti mereka tidak pernah
merencanakan bertemu di tempat itu. Tapi, benarkah “kebetulan” selalu tanpa
rencana? Adakah “kebetulan” yang sudah direncanakan?
“Kebetulan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti keadaan yang terjadi secara
tidak terduga (tidak direncanakan). “Kebetulan” mempunyai kata dasar “betul”
dengan imbuhan ke-an. Jika sinonim kata “betul” adalah “benar”, maka kenapa “kebetulan”
tidak sama dengan “kebenaran”?[1] Antonim dari “kebetulan” juga
bukan “kesalahan”. Jadi, bagaimana struktur kata “kebetulan” yang benar? (Aduh,
kok bingung ya?)
Kata “kebetulan” sudah biasa terdengar di dalam percakapan sehari-hari. Karena sudah
biasa itulah, kita menjadi tidak paham dengan konsekuensi yang menyertainya. Dengan
terbiasanya kita menggunakan kata “kebetulan”, dapat mengindikasikan adanya
peniadaan terhadap unsur sebab-akibat dari sesuatu[2]. Atau dengan
kata lain, kita menganggap yang terjadi di keseharian kita adalah sesuatu yang tidak
disengaja (tanpa sebab), seperti “Wah, kebetulan kita ketemu di sini”.
Ternyata, “kebetulan” mempunyai sebuah teori yang disebut Teori Kebetulan. Teori ini kali
pertama dikemukakan oleh Empidocles dan Demokritus, yang kemudian dilanjutkan
oleh Charles Darwin. Teori Kebetulan mempunyai prinsip bahwa sesuatu terjadi
tanpa sebab, bahkan Bumi dianggap terbentuk secara tidak sengaja. Oiya jadi ingat,
Darwin pernah melakukan sebuah “pembuktian” tentang teori ini (video “Keruntuhan
Teori Evolusi”, Harun Yahya). Sebuah kain yang kumal dan kotor diletakkan di
sebuah kotak terbuka. Setelah ditinggal selama semalam, ternyata di atas kain
itu ada seekor tikus. Darwin menganggap bahwa tikus itu “kebetulan” berasal
dari kain yang kumal dan kotor. Ini sama saja dengan menghitung kemungkinan
sebuah pesawat terbentuk dari timbunan sampah yang tertiup topan. “Tidak masuk
akal”.
Ada cerita menarik yang aku dapat dari sebuah kajian beberapa bulan lalu. Pak ustadz
bercerita tentang seorang pria yang sedang berjalan di sebuah lapangan
sepakbola. Ketika pria itu sedang berjalan, seekor burung melintas di atas
kepalanya dan memberikan “hadiah” berupa kotoran. Apakah ini kebetulan? Tidak.
Pria itu berjalan di lapangan sepakbola, bisa dibayangkan sendiri luasnya. Tapi kenapa
kotorannya bisa tepat menimpa pria itu? Dengan menilik kecepatan pria itu
berjalan, kecepatan burung terbang, sudut terbang burung, serta berbagai faktor
lain, apakah masih pantas disebut kebetulan? Coba bayangkan jika pria itu
tiba-tiba berhenti, atau burung itu melambatkan kecepatannya, atau sudut
terbang burung bergeser 1o saja. Apakah ini tetap kebetulan? Maha Besar
Allah dengan segala ciptaan-Nya.
Tidak ada satu pun peristiwa dalam hidup kita yang disebut kebetulan. Semua yang terjadi
sudah menjadi takdir bagi setiap yang menjalaninya. Ya, takdir yang sudah
dituliskan Sang Pencipta. “Kebetulan” hanya muncul dari ucapan manusia, karena
pada dasarnya manusia tidak tahu segalanya. Hanya Sang Pencipta yang tahu
segalanya, sesuatu yang tersembunyi, juga sesuatu di masa depan. Tidak ada
peristiwa yang lepas dari pengamatan dan izin-Nya, bahkan daun yang jatuh dari
ranting pohon.
Yuk, sedikit demi sedikit kita kurangi penggunaan kata “kebetulan”. Kata “kebetulan” bisa diganti dengan “Alhamdulillah”. Jadi, jika nanti kita bertemu dengan orang yang tidak diperkirakan, ucapkan saja “Wah, Alhamdulillah kita ketemu di sini”. Ingatlah bahwa semua terjadi
karena Allah. “Ketidaksengajaan” sebenarnya dibuat “sengaja” oleh Allah supaya kita dapat mengambil pelajaran. Well, mari kita hidup di jalan “kebenaran”, bukan terpaku pada sempitnya “kebetulan”.
Referensi:
[1] Benar vs Betul
[2] Mereduksi Kata Kebetulan
Tweet |
0 comments:
Post a Comment