© |
Sudah lebih dari 20 tahun yang
lalu aku dibelikan balon untuk kali pertama. Aku dibelikan balon itu sesaat
sebelum Sholat Id dimulai. Ya, aku dibelikan balon hanya saat lebaran tiba. Mungkin
karena hanya saat itu aku jumpai penjual balon, atau mungkin karena hanya saat itu
aku mendapat beberapa lembar uang kertas dari simbah. Itu masih menjadi misteri.
Tapi yang pasti, dari 3-4 tahun aku dibelikan balon--dengan jumlah 3-4 balon--hanya
1 balon yang selamat sampai di rumah. Sisanya meledak, atau kalau beruntung aku
bisa melihatnya terbang tinggi sambil mengucapkan salam perpisahan.
Zaman dulu, Sholat Id selalu
identik dengan balon-balon yang terbang menghiasi langit. Balon-balon yang
tanpa sengaja memisahkan diri dari pemiliknya. Tapi entah kenapa, akhir-akhir
ini fenomena itu mulai berkurang. Mungkin karena balon sekarang sudah berubah
bentuk, ada ikan, kepala Doraemon, bahkan Spongebob. Paling tidak, kenangan itu
akan selalu dikenang di dalam angan.
Sebagaimana anak balita yang
dibelikan sesuatu untuk kali pertama, aku yang dibelikan balon pun berusaha
sangat keras menjaga benda itu. Tangan kanan menggenggam benang yang diikat di
balon, sedangkan tangan kiri digenggam erat oleh ibu yang tak mau anaknya
terbang seperti balon. Sebagaimana tingkah balita umumnya, mata tak akan lepas
dari balon, hati-hati terhadap segala ancaman, juga orang-orang yang mendekat. Don’t touch my balloon!
Hingga tiba saatnya Sholat Id,
saat aku harus meletakkan balonku sejenak. FYI, di ujung benang yang terikat ke
balon, terikat batu kecil sebagai pemberat. Pikirku cukup aman, tapi memang
takdir tak bisa hanya dipikir. Tanpa alasan yang jelas, saat Sholat Id hampir
usai, batu kecil itu lepas dari ikatan benang, dan balon pun terbang. Selincah-lincahnya
aku saat itu, tak mungkin aku bisa menangkap balon yang pergi sesuka hati itu. Dan,
hal pertama yang aku lakukan tentu saja menangis. Sambil puas meluapkan, aku
pandangi balonku hingga dia tampak seperti titik di langit.
Tahun demi tahun pun berlalu. Sejak
menginjak SD, aku tak pernah dibelikan balon lagi. Tahun demi tahun pun
membuatku mengerti pelajaran penting dari terbangnya balon saat Sholat Id.
KEIKHLASAN. Hati siapa yang akan mudah melepaskan sesuatu yang dimilikinya
untuk pergi? Pun saat bisa melepaskan, mata kita akan terus memandanginya
hingga dia berlalu dan tak tampak lagi. Bahkan mungkin akan terus memikirkannya
siang-malam. Tanpa aku sadari, sejak kecil aku sudah mengalami apa yang disebut
kehilangan.
Zakat dan bermaafan adalah contoh
keikhlasan. Zakat, kita berbagi yang kita miliki dengan orang lain. Bermaafan,
kita mengikhlaskan segala lara yang dirasa dan memaafkan tanpa dendam di hati. Semua
itu identik dengan lebaran. Dan, lebaranku zaman dulu identik dengan perpisahan
yang menuntut keikhlasan.
Hingga kini, aku masih suka
tersenyum sendiri saat ingat polahku melihat balon mulai terbang. Keikhlasan yang
tanpa aku sadari diajarkan alam lewat terbangnya balon ke titik tertinggi. Entah
kapan, tapi aku pasti juga akan tiba pada titik tertinggi dan terakhirku dalam
hidup. Saat kemarin aku melihat balon terbang dan tak lama suara tangisan anak
kecil terdengar, aku hanya bisa berucap dalam hati, “Sabar ya dek, balon itu
sedang mengajarimu ikhlas. Memang berat kok perpisahan itu”.