Jalan setapak berhias daun mangga yang gugur. Daun kering kuning kecoklatan yang bertebaran di sepanjang jalan. Saat itu musim kemarau, tepat satu tahun yang lalu. Tak ubahnya seperti oven, saat itu pun panas telah melebihi ambang batas. Bukan sungai yang aku tuju untuk mendinginkan tubuh, tapi Jalan Mangga, disebut begitu karena memang banyak pohon mangga di sana , jalan paling teduh di kampungku.
Semilir angin sepoi-sepoi membelaiku. Duduk bersandarkan pohon memang ampuh untuk mengusir rasa panas. Antara sadar dan mimpi, kulihat sesosok bayang-bayang tercetak di tanah karena sinar matahari yang melewati celah-celah daun. Pemilik bayang-bayang itu adalah seorang gadis anggun bak bidadari. Awalnya kukira ini hanya mimpi. Namun ranting kecil yang jatuh menimpa kepalaku mampu sadarkanku. Bukan mimpi, sangat nyata.
Dia berjalan semakin mendekat. Angin meniup pergi daun-daun dari jalan, seolah membuka jalan baginya. Garis-garis angin bagai di komik nampak menari-nari di sekitarnya. Kurasakan suasana menjadi lebih sejuk saat dia hadir. Matahari senja di ufuk barat seolah hiasi pemandangan di belakangnya. Sinar jingga hangat berpadu dengan kuning kecoklatan daun-daun kering ciptakan aura keemasan. Aura khas keindahan berbumbu kesedihan.
Langkahnya kian dekat. Ku tak rela untuk berdiri. Kakiku pun enggan untuk buatku enyah dari tempat itu. Dia mendekat, tersenyum, dan berlalu. Sempat kubalas senyumnya. Kami hanya tersenyum, tak terucap satu kata pun. Dia pergi, namun masih kuingat senyum itu. Senyum indah yang sesaat. Senyum matahari senja.
Matahari senja di ufuk barat. Matahari yang nampak sekarat. Indahnya hanya sekejap, lalu pergi tertutup malam. Seperti dirinya, seperti senyumnya. Menebar keindahan walau hanya sesaat. Dirinya dan senyumnya, pergi tertutup kelam. Dia adalah matahari senja. Hangat namun menyedihkan.
Setahun berlalu, tepat hari ini. Masih di tempat ini, di bawah pohon ini. Sekarang ku tak ingin terbuai lagi. Terbuai belaian angin sepoi-sepoi. Yang kuingin hanya dia. Dia sang matahari senja. Dia yang tebarkan senyum pesona. Di ufuk barat, matahari tetap berpijar. Sinar hangatnya jatuh menerpa sebelah wajahku. Saat itu kusadar. Tersadar akan hal itu. Di sini aku hanya menunggu. Menunggu dia yang tak mungkin hadir. Aku berharap harapan kosong. Menanti untuk hal yang sia-sia. Namun tak apa, masih ada matahari senja. Itu pun cukup untuk buatku tersenyum sekarang.
Tweet |
0 comments:
Post a Comment