Sudah
sejak lama aku memegang dengan teguh kalimat ini, “Kalau kau rapuh, kalau
hatimu terluka dan bersedih, kalau kau merasa tak bisa apa-apa sehingga tak ada
suara yang bisa diucap atau langkah yang bisa diayun, maka tuliskanlah!”. Sudah
sejak lama, aku pun lupa dari mana mendapatkannya. Sudah sejak lama, bahkan aku
lupa hingga seorang teman mengingatkanku. “Tuliskan”, sebuah kata yang sejenak
membuat hati dan otakku terpaku. Aku harus kembali menulis, meski hati merasa
kecewa.
Ketika
pilihanmu ternyata mengecewakanmu, apa yang akan kau lakukan? Beberapa orang
akan melakukan hal yang bisa menghiburnya, seperti menyanyi atau nonton film. Beberapa
yang lain akan mencoba untuk menerima dan tak akan menyesali apa yang terjadi,
berharap bisa menjadi pelajaran. Sedangkan tak sedikit yang akan segera beralih
ke rencana lain, masih banyak pilihan yang bisa dipilih. Namun, apakah pilihan
yang lain tidak akan mengecewakanmu?
Pada
pandangan pertama ketika aku menjatuhkan pilihan padanya, aku rasakan kecewa
itu. Dia ternyata tak ubahnya seperti yang lain, dia tak istimewa. Namun apa
daya pilihan yang lain pun tak lebih istimewa. Seperti melihat barang dagangan
yang sangat kau dambakan di etalase. Perlahan kau melihatnya dari dekat dan
sadar adanya goresan di sana yang mengurangi keelokannya. Namun apa daya hati
ini telah sedikit terpaksa tertambat, meski rasa kecewa itu ingin meluap.
Ingin
marah, ingin semua tahu rasa kecewaku, ingin dunia melihatku meski sejenak.
Mungkinkah? Aku rasa itu mustahil. Sekitarku, bahkan dunia, mereka lebih
mementingkan apa kata kelompok daripada apa yang tertulis. Mereka melihat,
mereka mendengar, bahkan mereka sebenarnya paham. Namun yang aku rasa, saat
mereka sadar, mereka akan kalah dengan telak. Bahkan mereka yang menuliskan itu
di dalam lembaran kertas akan mengakui kekalahannya.
Aku
tak ingin sombong, aku hanya kecil, aku bukan Tuhan. Namun di sini aku coba
meneruskan perjuangan tangan kanan Tuhan untuk meluruskan mana yang benar. Itu
tertulis, seandainya mereka paham. Kalimat-kalimat dari Tuhan yang tertulis,
banyak tafsir yang menjelaskan dengan jelas. Kalimat-kalimat yang mereka buat sendiri,
mengapa justru mereka tak paham? Mereka tak mampu menafsirkan kalimat mereka
sendiri?
Ketika
pilihanmu ternyata mengecewakanmu, apa yang akan kau lakukan? Aku akan lebih
memilih menuliskannya. Beberapa lingkaran kecil adalah penguatku di kala rapuh.
Mereka ada dan sependapat denganku. Aku dan mereka, lingkaran kecil di sana,
lebih suka menuliskan apa yang dirasa. Apa yang tertulis akan abadi, apa yang tertulis
akan dikenang, meski hati merasa kecewa.
Baiklah,
semua telah terjadi dan berlalu. Mungkin kini aku kecewa, tapi esok atau tahun
depan aku harap senyumku bisa menunjukkan bahwa sekitar, bahkan mungkin dunia,
lebih paham apa yang mereka tulis dan lakukan. Aku tetap ada untuk mereka, aku
tak ingin menjauh. Aku ada karena mereka, begitu juga tulisanku ini ada karena
mereka. Ketika pilihanku ternyata mengecewakanku, apa yang akan aku lakukan? Aku
akan menuliskannya.
Tweet |
4 comments:
santai Pep, kecewa itu manusiawi. yg penting kecewa itu harus dikelola dgn baik. jangan kalah sama rasa kecewa itu sendiri :)
Siap pak bos (^_^)7 ~ Semua masih bisa dikelola, meski hanya lewat tulisan :)
jgn menyandarkan harapan pd makhluk, krn hampir bisa dipastikan kecewa yg akan diterima yg mgkn akan melukai anda. Akan tetapi bersandarlah selalu hanya pada Alloh Yang Maha Kuasa atas makhluknya, krn sejatinya Dia sgt mencintai hamba-Nya.
Dan mgkn perlu diingat bahwasannya apa2 yg baik menurut kita, blm tentu baok menurut Alloh, dan bahwasannya Alloh akan memberikan apa2 yg kita butuhkan,
percayalah Alloh akan mengganti dg yg jauh lebih baik,
mgkn kita hanya harus bersabar utk menyingkap hikmah dibalik semua peristiwa yg telah Dia gariskan..
Juga bahwasannya Dia lah sebaik-baik sutradara,
SEMANGAT BRO!!
Nuwun :) Allah pasti punya rencana di balik semuanya, karena Allah adalah scriptwriter dan director terbaik. Kita tinggal memainkannya :) Action!
Post a Comment