Seperti
angin yang berdesir di saat sepi, atau seperti guntur yang menggedor riuh sore.
Suara yang terdengar menandakan mereka ada. Aku tahu tentang sesuatu dari kata
orang. Aku mulai tahu eksistensi sesuatu dari kabar di sekitarku. Mulai dari
telingaku.
Dari
mana aku mulai mengenal cinta? Mulai dari suara. Aku mulai mengenalnya dari
suara dan cerita. Hal sederhana yang aku dengar munculkan rasa tertentu di
sendi-sendi hidupku. Ketika derap masa kecilku mulai terasa, perlahan aku
mendengar eksistensi cinta. Perlahan, dering-dering itu terdengar.
Kata
mereka cinta itu indah. Kata mereka cinta itu penuh warna. Kata mereka cinta
itu semangat. Kata mereka cinta itu mewah. Kata mereka cinta itu bahan bakar
kehidupan. Kata mereka, kata mereka, kata mereka aku dengar.
Saat
beberapa suara mulai kudengar, aku mulai mencintai kedua pahlawanku, ayah dan
ibu. Mereka yang tulus mengajarkan cinta, dari cinta diri sendiri hingga cinta
kepada kehidupan. Cinta yang mereka beri melalui ucapan cinta mereka, lewat
dongeng sebelum tidur, serta alunan simfoni nina bobok penuh sihir.
Teringat
masa kecilku penuh ambisi, ambisi menjadi yang terbaik juga ambisi menjadi yang
terdepan. Nakal, setidaknya itu yang aku pikirkan tentang masa kecilku dulu. Ayah
berjanji memberi hadiah jika aku juara kelas, dan aku mendapatkan juara itu. Namun
aku tak tahu, lebih tepatnya tak mau tahu, saat itu ayah belum punya uang untuk
membelikanku hadiah. Aku menangis, aku mengamuk, aku melempar barang yang aku
pegang. Ayah dengan senyumnya hanya berkata, “Sabar ya, besok hadiahnya datang”.
Aku yang belum paham akan cinta hanya menganggapnya kata-kata penghibur belaka.
Kini, saat aku mengerti suara cinta, kata-kata ayah sangat penuh dengan cinta
dan kesabaran.
Ambisi
menjadi terdepan yang dulu sering bawaku terjatuh. Sore hari yang terkadang aku
isi dengan balapan sepeda. Tak hanya jatuh karena terpeleset, jempol kaki yang
terjepit ruji roda juga jari tangan yang terjepit rantai pernah aku alami. Tangan,
siku, lengan, kaki, hingga lutut penuh dengan bekas luka masa kecil. Namun ibu
dengan kata-kata cinta penuh sihirnya selalu berkata, “Kali lain hati-hati ya”.
Ucapan sederhana disertai sentuhan lembut tangannya.
Dewasa
mulai bawaku mendengar cinta lebih banyak. Dering-dering yang sayup aku dengar
di sekitarku. Mereka bersahutan, mereka saling berinteraksi. Seperti induk
kucing yang mengeong memanggil anaknya yang hobinya main. Perlahan waktu
memaksaku mempertajam daya dengarku. Dering itu masih jauh di sana, masih
terbawa sosok yang masih samar. Pelan waktu berubah deras, cinta itu kuyakin
segera terdengar jelas.
Banyak orang berkata hidup ini penuh dengan
keseimbangan. Keseimbangan yang bawa cinta hadir. Siang yang berkejaran dengan
malam, putih yang kadang bermusuhan dengan hitam, serta kemarau yang sering
terhapus hujan. Aku dengar perempuan adalah potongan tulang rusuk dari
laki-laki yang menjadi jodohnya. Aku dengar itu adalah keseimbangan juga.
Aku
mulai mengenal cinta dari suara. Cinta yang hakiki, cinta yang murni bagi
seluruh alam, cinta dari Tuhan kepada umatnya. Cinta yang aku dengar lewat
suara pelantun kalimat-kalimat Tuhan. Cinta yang bawaku semakin dekat kepada
dering-dering cinta kehidupan. Dari suara aku mengenal cinta, dari suara aku
mengerti cinta. Cinta kepada-Mu, hidup, dan duniaku selanjutnya.
Tweet |
0 comments:
Post a Comment